BAB 3

36 22 9
                                    

Ada beberapa alasan kenapa aku harus pergi minimarket depan komplek.

Pertama, karena ibu terlalu sibuk hanya untuk sekedar belanja bulanan. Kedua, karena duo K akan menginap dan sekarang giliranku untuk menyediakan cemilan malam ini. Dan ketiga, karena kak Aiden, alumni sekaligus most wanted sekolahku akan kesini—aku melihatnya di instastory—untuk kerja paruh waktu.

Jadi, begitulah.

Aku mendorong pintu kaca minimarket, angin dingin dari AC menerpa permukaan kulit. Kuhirup banyak-banyak. Ah, aku sangat menyukai baunya.

Fokusku langsung kujatuhkan ke penjaga kasir. Bukan kak Aiden. Mungkin ia ada di—"Sori, gue telat." Refleks aku memalingkan kepalaku ke belakang. Itu kak Aiden!

Ia melepas helmnya dan membuka jaketnya. "Telat lo. Jadi nambahkan nih gue lima menit." Omelnya nyaring. Sepertinya ia tak menyadari ada pelanggan yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Keadaan minimarket lagi sepi sih. Hanya ada aku, seorang cowok yang tengah asik memilih minuman dingin, dan pria paruh baya dengan ransel dipunggungnya.

"Sori ya." Pintanya, ia tersenyum, membuat lesung pipit itu muncul kepermukaan. Astaga, aku bisa meleleh. Aku harus memotretnya. Lantas aku merogoh kantong celana dan tak menemukan benda persegi canggih tersebut. Sial, aku meninggalkannya terchanger di rumah.

Ia segera berjalan ke suatu tempat, menghilang di balik tirai horden dan muncul kembali dengan seragam kerja kemudian berdiri di balik kasir.

Hampir saja aku melupakan tujuanku kesini. Cukup sudah mengaguminya. Aku bergegas menuju rak peralatan mandi lalu membuka gulungan kertas berisi apa saja yang harus di beli.

Deterjen ...
Sabun ...
Pasta gigi ...

Aku menggumamkan nama barang itu sambil memasukkannya ke keranjang. Kemudian menuju rak penuh mie instan. Surga dunia.

Setelahnya, aku menuju rak cemilan dan minuman dingin. Pandanganku jatuh ke cowok yang sedari tadi tampak kesulitan dalam memilih minuman. Di kedua tangannya terdapat dua botol kopi dan susu. Dari samping ia tampak familiar.

"Lho, Rex?!" Teriakku nyaring. Aku menahan diri untuk nggak menampar mulutku. Ia menoleh tanpa ekspresi. Dan entah kenapa aku merasa kecewa. "Ngapain disini?" Tanyanya. Aku mengangkat keranjangku, memamerkannya. "Lo?"

"Ngadem." Sudah kuduga. Sebelumnya, aku sempat mencari semua tentang dirinya. Dan dapat ku simpulkan bahwa ia orangnya irit bicara, tapi nggak cuek. Buktinya saja ia mau basa-basi dengan orang sepertiku.

"Susah milih antara kopi atau susu?"

"Yap."

Sejenak aku berpikir. Lalu menyopot jus kotak dari rak. "Mending ini." Saranku. Kemudian berlagak ala-ala mbak SPG.

"Ngendorse kamu?"

Aku nyengir. Wajahku memanas, tak dapat menahan senyumku.

Sedetik kemudian, aku terkejut akan mimik wajah Rex yang berubah drastis. Ia membelalak dan menjatuhkan botol kopi dan susu itu ke lantai. Meninggalkan bunyi yang kencang. Matanya melirik kesana-kemari, keringat membanjiri dahinya. Tampak resah. "Woy, lo kenapa?" Tanyaku khawatir.

"Kita harus pergi." Ia meraih pergelangan tanganku, tetapi aku tak bergerak sedikitpun. Bingung. "Hah?"

Ia mengacak rambutnya frustasi. "Kita. Harus. Pergi." Tekannya. Aku mencoba untuk nggak emosi. "Apa sih!"

Menggigit bibir bawahnya, ia melepaskan tanganku. Dari lirikan matanya, ia menyuruhku mengikutinya. Berjongkok di ujung rak, mengintip. Entah apa yang ia intip aku ikut saja.

"Kamu liat bapak-bapak beransel itu?" Aku mengikuti arah pandangnya. Seorang pria tengah menunggu penjaga kasih memberikan nominal yang harus dibayar, aku menggangguk. "Dia buronan." Aku melolot.

"Dan dia bakal nembak penjaga kasir." []

TO BE CONTINUED!

7 April 2018

Iridescent BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang