"Keren juga kamu, Jeng. Nggak nyangka deh kalau nggak liat sendiri perform kamu."
Ajeng asli tak rela saat Denaya mengatakannya sambil mengacak poni. Dia baru saja melepas jepit yang sedari tadi menahan poninya agar tak jatuh ke dahi. Ajeng senyum-senyum. Sungguh, dia nggak yakin. Tapi show was over. Dia hanya tinggal menunggu.
Ajeng menatap Denaya yang sibuk memasukkan es krim rasa kopi ke mulutnya.
"Kenapa?" tanya Denaya saat menyadari atapan Ajeng.
"Eh." Ajeng tergeragap.
"Ngapain liat-liat? Mau?" Denaya mengarahkan satu sendok kecil ke mulut Ajeng.
Ajeng menggeleng.
"Kalau aku nggak menang .... "
"Kalau nggak menang, kamu tetep jadi sahabat terbaikku. Kita tetap berangkat kuliah bareng, tetep kongkow bareng. So what?"
Ajeng terdiam. Ringan sekali hidup Denaya. Atau ambisinya yang terlalu besar?
Ajeng mengaduk lemon tea panas, dan menyesapnya, sendok demi sendok. Dia memang memesan spesial yang masih panas, untuk meredakan ketegangan tadi di stage.
"Hmm, barista berbakat ternyata lebih suka minum lemon tea," satu suara renyah menyapa dari samping.
Ajeng dan Denaya saling tatap, merasa tak mengenal si empunya suara.
"Eih, sorry. Saya Aditya." Tangannya terulur menyapa.
Ajeng dan Dena menyebut nama mereka.
"Saya belum pernah liat kamu, Jeng. Stay di kafe mana?"
"Belum kerja, Kak. Belum ada yang mau terima saya."
"Mmh, saya ada tawaran kalau kamu mau."
Ajeng menatap Dena yang juga sedang menatapnya.
"Kalau kamu tertarik, besok kita ketemu di Kafe Omega. Sekitar jam satu siang sampai jam empat sore saya di sana. Kalau saya belum ada, tanya aja sama yang sedang stay di sana."
Mata Ajeng membulat. "Tapi ... rasanya saya nggak menang lho, Kak."
"Apa hubungannya? Saya suka gaya dan cara presentasimu, bagi saya itu cukup."
Ajeng melongo. Begitu mudah?
"Okey, sampai ketemu besok." Adit berlalu, meninggalkan Ajeng yang masih mengumpulkan serpihan kesadarannya.
"Serius ini, Den? Bukan orang gila kan dia?" Ajeng masih tak percaya ada orang yang begitu mudah menghampiri, salaman lalu bilang akan memberinya pekerjaan.
"Tauk. Dia orang gila yang paling ganteng yang pernah aku lihat, Jeng." Alih-alih menjawab, Dena justru mengguncang-guncang lengan Ajeng macam orang kesurupan.
"Ganteng? Masak sih?"
"Kamu tuh ... mata aja yang segede jengkol, tapi ada barang bagus di depan mata juga nggak liat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Proviso (Sudah Terbit)
RomanceImpian. Kata sederhana. Namun bisa jadi perjuangan mencapainya bakalan mbulet luar biasa. Hal-hal yang tidak diprediksikan bisa jadi hadir untuk memberi semangat, membelokkan atau justru membunuh impian itu sendiri. Impian Ajeng sebenarnya sederhan...