Chapter 5

62 1 0
                                    

Chapter 5

Recap:

Dari sudut mataku, kulihat dokter yang menemani Nila tadi muncul dari sebuah ruangan lain, mendekati kami. Dengan gusar aku berdiri dari kursiku dan menatap Nila sekali lagi.

“Kurasa sebentar lagi kamu akan sedikit sibuk. Baiklah, sampai jumpa lagi, Nila.” Aku memegang bahunya sekilas. Kulihat dahinya mengkerut mendengarku memanggil namanya. Aku melangkahkan kakiku kembali ke mejaku, berkutat kembali dengan puzzle yang sedang kukerjakan tadi sebelum Nila masuk ke ruangan ini.

Uh, aku benci puzzle ini. Entah apa gunanya sampai dokter Wahid menyuruhku mengerjakan mainan anak kecil ini. Otakku toh tidak berubah makin tajam…atau pintar. Sembari melanjutkan puzzleku, sesekali aku melirik Nila yang kini sedang belajar menaiki tangga buatan.

………………………………………………………………………………………………………………

(Daniella’s POV)

Aku menyisir setiap helai rambutku dengan jari-jari tangan. Raut wajahku merengut ketika kutemukan beberapa helaian kasar dan membuat tanganku tersangkut diantaranya. Perlahan kuurai bagian-bagian yang kusut dan kembali menyisir.

Sejak pagi tadi aku sudah bangun dan bersiap-siap. Aku harus kembali melakukan terapi siang nanti, namun sebelum itu aku akan menjenguk Lana. Sampai sekarang ia belum sadar, membuatku merasa bersalah karena sudah lebih dahulu pulih.

“Ma?” tanyaku memastikan ketika kudengar seseorang membuka pintu kamarku.

“Sudah siap?” suara mama membuatku menghembuskan nafas lega. Tak disangka, selalu tidak mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamar bisa membuatku frustasi. Tidak bisa melihat itu rasanya sangat tidak nyaman!

Aku mengangguk pelan. Kurasakan tangan mama menggapaiku dan membantuku pindah dari ranjang ke kursi roda yang dibawanya. Aku menempatkan kakiku dengan nyaman di atas tempat tumpuan kaki.

Selang beberapa detik kemudian, tubuhku mulai bergerak. Setahuku kamar Lana berjarak dua lantai dari kamarku, sehingga kuasumsikan kami akan menaiki lift sebentar lagi.

“Bagaimana persidangan kemarin?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Semuanya berjalan lancar. Mama harus menghadiri beberapa persidangan lagi sebelum benar-benar bercerai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Biarpun papa tidak mau membiayai kita, sepertinya hakim akan membuatnya tidak punya pilihan lain,” kudengar masih ada nada getir dari suara mama.

“Aku tidak mau berharap pada uang papa.”

“Mama pun begitu. Ada kemungkinan besar papa hanya akan membiayai kita beberapa bulan di awal. Setelah itu mungkin dia akan melalaikan tanggung jawabnya,” lanjut mama, “ kita akan baik-baik saja. Mama akan bekerja untuk menghidupi kalian.”

Aku tahu mama berkata jujur. Mama pasti akan berusaha sangat keras demi kami. Sejak papa pindah, mama mulai menerima jahitan di rumah. Profesi yang dulu sempat ia tinggalkan demi papa dan kami. Mama pernah punya impian untuk membuka butik dan menjual hasil rancangannya. Dulu ia pernah kuliah design di kampus mode ternama. Dengan kepergian papa, kuharap impian mama kali ini bisa terwujud.

“Oh ya, dimana kak Rey?” tanyaku penasaran. Aku belum melihatnya hari ini.

“Sedang mengurus cuti kuliah.”

Aku tidak pernah menyukai ide kak Rey untuk cuti kuliah. Mengorbankan masa depannya demi biaya sekolahku, hanya membuat rasa bersalahku makin besar. Aku menarik nafas berat. Dengan kondisiku seperti ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku malah menambah biaya hidup yang kami perlukan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

In My EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang