Bel pulang, baru saja berbunyi. Anak-anak bersorak sorai sambil merapikan barang-barang mereka, bersiap pulang.
"Karen? Lo baik-baik aja kan?" Tanyaku melihat Karen yang sejak tadi, senyum-senyum sendiri dengan tas yang sudah bertengger manis di punggungnya. Padahal aku sendiri masih sibuk merapikan barangku.
Karen mengangguk pasti. Tapi senyumannya, membuatku takut, esok hari ia tak dapat tersenyum lagi karena mulutnya yang pegal-pegal.
"Gak cape ya, dari tadi senyum-senyum terus?"
Dia menggelengkan kepalanya lagi cepat. "Fey, pinjem sisir donk.." Kemudian mengobrak-abrik tempat pensilku.
"Gue gak bawa sisir Ren, lo kenapa sih?"
"Aah.. rambut gue berantakan nih.." Karen menatap dirinya di depan cermin kecil yang ia bawa.
"Biasanya juga gak peduli.." Aku meresleting tempat pensilku kemudian. "Karen, anter gue jal-"
"Fey, gue duluan ya?" Karen yang berdiri dari bangkunya membuatku menghentikan perkataanku itu.
Siapa sangka, Darren, sang ketua kelas kami itu, sudah berada di samping Karen. Ada pertanyaan besar yang sudah memenuhi isi kepalaku saat ini. Tapi sayang, tak bisa kutanyakan saat ini juga.
"Darren?"
"Ah, kami.." Ucapan Darren terpotong dengan anggukan Karen.
"Bye!" Karen mendorong Darren keluar kelas yang diikuti temannya Darren, Rifan.
"Bro! kami duluan ya.." Refan memekik lalu menyusul Darren, dan yang lainnya.
"Yoi!" Balas Aldra yang kemudian asyik kembali dengan game di handphonenya.
Sekarang tinggal aku, dan cowok itu saja di sini. Cepat-cepat aku memasukkan barang-barangku yang tersisa.
"Sang putri perusak, bahkan tak tahu tentang temannya sendiri.. Ckckck" Aku menoleh.
Jika otakku saat ini tak berjalan, tanganku mungkin sudah sakit karena menggebrak meja saking kesalnya.
"Hallo? Kak Willy? Iya, kak.. sebentar ya, biar Fey cek dulu. Takutnya ada yang ngaku-ngaku lagi. Iya kak, kayak gantungan kunci Fey.." Handphone yang tak terhubung ke siapa pun, menjadi teman untuk membalaskan omongan Aldra sore itu sebelum aku meninggalkannya sendiri di kelas.
Aku tak mengerti, bagaimana bisa, Darren, yang begitu baik, pintar, dan perhatian, harus bergaul dengan Aldra, yang bahkan mungkin tak mengerti kata baik sekalipun. Yang hanya bisa mengganggu orang, menuduh orang, dan membalikan pembicaraan.Lebih lagi, Rifan dan Refan yang walaupun tak sepintar Darren, tapi dengan hatinya mereka dapat membuat lelucon yang tulus. Tak seperti Aldra yang dari setiap perkataannya hanya penuh dengan hal tak menyenangkan.
Mood-ku semakin turun saja karena pertengkaran tadi. Angkot yang sejak tadi menekankan klaksonnya, mengajakku naik, malas kuhiraukan. Akhirnya aku hanya berjalan menyusuri trotoar entah kemana.
Pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan unik, yang biasanya menarik perhatianku, kali ini, tidak. Semua terlihat hambar di mataku, padahal udara dingin yang datang bersamaan dengan hari yang semakin sore, semakin menyelimutiku.Kakiku terus melangkah menyusuri jalan, sampai ke sebuah kursi taman yang kosong. Di sana aku duduk beristirahat. Memainkan handphone yang sempat kudiamkan selama perjalanan.
Part 2. Pria Asing
"Belum pulang?" Pertanyaan seorang lelaki yang mungkin diperkiran berumur 17-18 tahunan di sampingku itu, membuatku menoleh.
Berambut hitam berpadu dengan kulitnya yang putih, hidungnya mancung, bibirnya yang agak merah cocok untuk wajahnya yang bisa dikatakan tampan. Perawakannya tinggi, tidak gendut ataupun terlalu kurus. Cukup untuk badan berotot. Tapi, yang lebih membuatku tertarik, bola matanya. Entah di mana aku pernah melihatnya."Ah.. Umm.."
"Mau? Ambillah, udaranya semakin dingin." Dua gelas teh hangat dengan gelas berbahan plastik yang pria itu bawa, salah satunya ia berikan padaku. "Kau pasti lagi punya masalah dengan orang yang kau sayangi ya?" lanjutnya lagi memulai pembicaraan, sambil merapatkan jaket yang ia gunakan.
Aku hanya diam sambil memperhatikan pria yang tak kukenal ini bicara. Memegang gelas teh yang ia berikan dan menikmati hangatnya, walau tak kuminum. Bukan aku tak mau, tapi ada rasa tak enak padanya.
"Memang, bertengkar dengan orang yang kita sayangi, kadang membuat mood turun. Dan kesendirian, bisa memperbaiki semuanya." Dia melirik gelas teh ku yang masih tertutup rapat. "Ayo, minumlah, jangan takut, aku membelinya di PKL seberang sana kok. Gak aku campurin apa-apa." Katanya lagi menyuruhku meminum teh itu.
Sebenarnya, ini teh yang juga sering kubeli dari tukang bajigur. Selain teh ini, biasanya aku juga membeli kacang rebus, atau jagung rebusnya. Aku tak menyangka, lelaki asing ini malah memberikannya untukku. Akhirnya aku meminum teh itu.
"Kesendirian? Bagaimana bisa?" tanyaku kemudian.
"Saat kau menyendiri, sedikit dari itu, kau akan merenung. Setelah itu, otak kau akan mencerna apa yang membuat semua pertengkaran itu terjadi. Jika kau sadar, kau mungkin akan mencari cara agar masalah itu selesai. Dan menurutku, kebanyakan dari pertengkaran, adalah salah faham."
"Salah faham sama cowok kayak Aldra? Ish.. gue yakin gak selesai-selesai." Gerutuku sendiri.
"Jadi, sekarang, pulanglah.. hari sudah semakin sore. Orang tuamu pasti menunggu. Kau punya ongkos kan?" Aku mengangguk. "Umm.. Aku berharap, masalahmu akan segera selesai. The nya habiskan ya? Dan..." Dia melepas jaketnya dan memberikannya padaku. "Saat kita tak punya kesempatan bertemu lagi, kau boleh menyimpan jaketnya."
Aku berdiri, tapi, lelaki itu sudah melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum, seakan mengusirku dari tempat itu. Aku pun mengangguk."Terima kasih.." Itu kata terakhir sebelum aku berjalan pergi menuju jalan, dan menaiki angkot pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam Yang Dirindukan
Teen Fiction"Andai aku mengenalNya lebih awal. Aku tak akan tersesat da terjebak dalam lautan kegelisahan seperti saat ini."