#Seira-1

72 30 8
                                    

By @ArlenLangit

Seduhan kopi panas di mug bergambar bunga Lotus memberi aroma harum alami seantero dapur kecil yang menghadap ke timur. Kaca beningnya membiarkan sinar matahari masuk, membuat dapur itu terang benderang. Pemilik rumah sedang berkutat dengan semangkuk sereal di depannya.

Sesekali ia menyingkirkan anak rambut yang turun ke wajahnya, ia segera menyelesaikan sarapannya dan membersihkan diri. Agustinus berkata hari ini ia akan mengirim bunga Matahari dan Mawar putih yang sudah ia pesan jauh hari.

Ia menyeruput kopi hitamnya perlahan beberapa kali dan segera berbelok ke kamar mandi. Ia keluar lima belas menit kemudian dengan rambut basah. Menyampirkan tas selempangnya berwarna merah tua dan memakai flat shoes mengunci pintu rumahnya.

Toko bunga Yurika sudah ia buka, dan untungnya Antonius belum datang. Televisi di sisi kanannya menampilkan beberapa berita pagi tentang peristiwa penting seisi kota. Ia antuisias melihat berita itu satu per satu.

Ia terhenyak saat mendengar bel berdenting di atas pintu Yurika. Ia melihat pelanggan pertamanya masuk, seorang pria berkemeja abu-abu yang rambutnya rapi. Ia menyapa pria berkacamata bening itu, menanyakan bunga apa yang akan ia beli.

"Aku ingin Mawar biru tiga tangkai." ujarnya pada Seira. Seira segera keluar dari balik meja kasirnya dan mengambil tiga tangkai bunga Mawar biru. Ia membungkusnya menjadi satu dan memberikannya pada pelanggan pertamanya.

Pria itu memberikan selembar uang merah pada Seira, Seira mencarikan uang kembalian, ketika menyorongkannya ia tak melihat pelanggan pertamanya.

"Pak," panggil Seira pada ruang kosong di depannya. Tak mungkin pria itu bersembunyi dalam tokonya, karena tokonya tak mempunyai sekat. Ia keluar dari Yurika dan tak menemukan pejalan atau pengendara yang menjadi pelanggan tokonya. Ia pun masuk ke dalam Yurika terheran-heran.

"Aku yakin tak mendengar bel itu berbunyi saat dia keluar." ujar Seira terheran-heran melihat pelanggan pertamanya.

Belum sempat ia duduk, ada tiga wanita dewasa masuk ke dalam toko, mereka melihat-lihat koleksi bunga hidup Yurika. Mereka membeli cukup banyak bunga, itu membuat Seira melupakan kejadian aneh pada pelanggan pertamanya tadi.

Antonius pun datang setelah jam makan siang, ia berkata terjebak macet di pertigaan akan ke mari. Ia berkata bahwa ada kecelakaan yang terjadi. Dua pengendara sepeda motor tewas dan satu penumpang mobil juga tewas. Tak lama berita itu pun ditayangkan di lintas berita kota. Dan benar, Seira mengetahui jumlah korban.

Jalan Dharmawangsa yang menjadi tempat kejadian perkara itu masih didatangi banyak penduduk sekitar atau petugas keamanan yang masih olah TKP. Seira melihat sendiri jalanan yang menjadi TKP itu ada timbunan pasir dan garis putih membentuk tubuh manusia saat terjadi kecelakaan. Di antara keramaian penduduk yang melihat TKP ia samar melihat bungkusan plastik yang berisi bunga. Ia mendekati bungkusan itu, bunga Mawar yang tak utuh itu hanya tinggal bungkus, tangkai dan kelopak bunga Mawar biru di dalamnya.

Toko Bunga Yurika, apa mungkin korban kecelakaan itu pria pelanggan pertama Yurika?

Seira mengingat berita yang masih hangat itu, mencari tahu usia atau wajah korban kecelakaan, tapi ia tak ingat. Ia merasa terdorong rasa ingin tahu melangkahkan kakinya ke rumah sakit.

"Suster, di mana jasad korban kecelakaan di jalan Dharmawangsa tadi siang?" tanya Seira.

"Nona lurus saja, belok ke kanan dan di sana ada ruangan bertuliskan kamar jenazah."

"Terima kasih." Seira menyusuri lantai putih rumah sakit dengan perasaan ingin tahu. Ia merogoh uang kembalian pria yang membeli bunga Mawar biru di tokonya.

Ia berdiri di ruang jenazah, di sana ada dua petugas rumah sakit.

"Anda keluarga korban yang mana?"

"Saya merasa mengenal salah satunya," ujar Seira. Petugas wanita itu mendekat ke bangsal itu, membuka kain putih yang menutupi wajah jenazah korban kecelakaan. Dan berhenti karena tangannya gemetar.

"Sudah kami bersihkan, tak apa."

Seira melanjutkan kegiatannya. Ia mendapati wajah remaja belasan tahun yang luka di bagian kepalanya. Wajahnya pucat. Seira menutup kembali kain putih itu. Ia melangkah ke bangsal sebelahnya, wajahnya bukan wajah yang ia cari. Ia semakim gemetar kala mendekati bangsal terakhir korban kecelakaan Dharmawangsa. Ia membuka kain putih itu dan ia terperangah,

"Kau mengenalnya?"

"Tidak, aku tidak mengenal mereka. Maaf sudah merepotkan kalian. Terima kasih."

Seira keluar dari ruang jenazah dengan perasaan lega. Ia memasukkan kembali uang kembalian pria pelanggan pertama Yurika.

Jadi di mana pria itu, ya Tuhan. Aku menganggapnya mati karena kecelakaan! Bodohnya aku! Seira mengetuk kepalanya dengan tangan kanannya sambil menertawai dirinya sendiri. Ia keluar dari lorong rumah sakit, ke lobi dan parkiran lalu pulang. Tak menghiraukan senyuman seorang pria berjas abu-abu, ke dua tangannya masuk ke dalam saku memperhatikannya tertawa sendiri sambil mengetuk kepalanya.

Yurika selalu buka di jam yang sama, pukul tujuh pagi sampai empat sore. Kali ini hujan sudah membasahi kota pudak. Menghalangi matahari menyinari, dan membawa siapapun masuk kembali ke dalam rumah jika tak ada keperluan penting di luar.

Seira mengibas-kibaskan rambut sepunggungnya karena terkena butiran air hujan. Ia mengeluh karena lampu mati sedang berlangsung di toko, semua deretam toko menyalakan lilin atau generator. Sayangnya di toko ia tak mempunyai generator. Seira menyalakan tiga batang lilin besar di meja kasir. Membuat ruangan lumayan besar itu sedikit ada cahaya. Ia berjongkok sambil menyemprotkan air ke bunga-bunganya agar tetap segar.

"Nona," sapa seseorang dari belakang. Seira segera berdiri dan berbalik. Ia mendapati wajah yang ia kenal. Sekilas ia melihat bel di atas pintu Yurika, bel nya tak berbunyi.

.
.
.
.
.
.
Vote & Comment
Sukses selalu
@Braveheart0804

Shortstory Collection BraveHeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang