Manis

778 47 22
                                    

'Karena aku telah kehilangan banyak hal, maka aku berdiri di sini'

Ya, pria itu berdiri mematung di tengah padang rumput yang sepi ini, sendirian. Rambutnya yang kelam bergerak tertiup angin yang menyapa punggungnya perlahan --berbaur dengan mereka. Tak ada yang ia tunggu di sana. Bahkan ia sendiri tidak yakin mengapa kakinya membawa dirinya ke mari --ah, lebih tepatnya tak mau mengingat untuk apa ia ke mari. Namun sekeras apapun ia berusaha lari dari pikirannya, tetap tak bisa kan? Bak hantu yang tak pernah diundang saat ketakutan. Muncul bakai air bah yang jatuh dari langit. 

Matanya yang sayu akhirnya ia arahkan pada sebuah gereja tua tak jauh dari sana. Tiba-tiba bernostalgia dalam benaknya yang hampa. Semakin diingat, semakin terasa nyata setiap potongan kenangan yang membuatnya kembali ke tempat ini setelah trauma berkelanjutan sebulan lalu. Waktu yang sebentar, namun tetap terasa lama baginya --yang terkoyak kegundahan dengan sengaja.  

Sebuah usaha kecil, di saat ia mencoba menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. Namun terasa begitu sulit --sangat sulit. Berkat hancurnya apa yang selama ini menjadi senyumannya.

Salahnya? Tidak, bukan, bukan semua salahnya. Hanya satu pertanyaan yang membayang dalam pikirannya sejak hari itu, bagaimana caranya agar ia tidak menyalahkan diri sendiri seperti ini?

Orang bilang cinta itu manis. Saat dua insan dipertemukan oleh cinta, maka keduanya akan tenggelam dalam bayang-bayang kebahagiaan satu sama lain. Benarkah itu? Bagaimana jika perasaan yang muncul tidak semestinya tumbuh di sana? Tidak disiram olehnya? Bagaimana jika dalam waktu yang sama ada orang lain yang mau kembali membenarkan jalan keliru itu? Bagaimana jika--

Perandaian yang mengawang. Penuh dusta di dalam janji. Penuh cemoohan dalam pujian. Dan apa yang orang-orang sebut cinta itu tak ingin ia percayai lagi. Kontradiksi dengan perasaan hangat yang masih tersisa di hati, yang tak lama lagi akan ia bekukan selamanya.

Kemeja hitam menandakan berkabung, seseorang lagi yang mengatakannya. Nun jauh di sana, yang tak bisa lagi ia gapai. Apalah dayanya yang sebagian besar memiliki kemeja berwara gelap itu? Apa setiap harinya selalu berkabung? Apakah karena itu kutukan ini terjadi? Menghancurkan angan yang telah ia simpan setelah bertemu dengannya? Dengan gadis itu?

Di padang rumput berlatarkan langit yang terlampau biru, pria itu kembali terjebak dalam bayang-bayang panggilan yang ia rindukan. Halusinasi lagi. Halusinasi yang akan menggiringnya ke dalam runtutan ingatannya yang lain. Konflik dalam kisahnya.

"Soraru-san."

Ia mendecih. Panggilan untuknya itu terus terngiang di kepalanya. Panggilan dari gadis itu. Ingin dirinya memecah ingatan dalam kepalanya agar hilang. Ingin dirinya enyah tertelan dunia, melupakan apa yang sudah terjadi padanya --semua cemoohan yang ia terima secara gamblang. 

Soraru --pria itu, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat berdirinya sejak satu jam lalu ini, melangkah menuju gereja tua yang ia lihat tadi. Meninggalkan seikat bunga lili putih yang ia simpan di hadapannya tadi, tepat di batu nisan bertuliskan namanya.

'Riyuuki Haname'

oOo

Soraru menatap indahnya kaca patri yang menjulang menunjukkan keagungannya di depan altar gereja. Tatapannya kosong meski dalam hati tetap memuji keindahannya. Ia percaya akan adanya Tuhan --tentu saja, itulah mengapa dirinya ke mari. Begitu juga 2 tahun lalu, saat pertemuan pertamanya dengan Yuuki --panggilan gadis itu.

Ia tahu, gereja ini sudah berhenti dikelola setahun lalu, terlihat dari debu-debu yang menebal sembarangan di sudut-sudut geraja, juga di altar dan kursi doa. Lilin yang biasanya menyala menyambut siapapun juga tak lagi hadir. Satu-satunya sumber cahaya di sana adalah kaca-kaca patri yang berdiri kokoh. Semerbak bunga yang selalu dirawat setiap hari oleh Pastur gereja ini pun tak lagi menyapanya saat masuk. Hanya keheningan yang nampak. Membuatnya terkoyak lagi luka lama --saat kehilangan sang Pastur, ayah dari Yuuki.

エンドTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang