2. Ikar, Pria Gratisan.

169 16 1
                                    


     Aku menyesal karena telah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Berpikir sejenak, lalu membukanya lagi. Syukurlah, mereka berdua masih belum pulang meninggalkan rumah ini.

“Kalian bilang, mau mengajakku jalan-jalan tadi. Apa itu benar? Atau, telingaku saja yang error?” Aku mencoba bertanya, supaya ia tidak marah terhadapku.

“Ehmm ... iya, itu benar,” jawab Ran.

“Tapi sebelum itu, kita harus ke rumah makan terlebih dahulu. Seperti biasa, makan-makan.” Ikar tertawa kecil.

“Ya, kau benar. Kebetulan saat ini, cacing yang ada di perutku mulai bergetar. Tapi, siapa yang akan membayarnya?” tanyaku, mengerutkan dahi.

“Aku!” Tiba-tiba Ikar menyerukan seperti itu.

Ah, ini pasti gratis. Aku berpikir seperti itu setiap Ikar selalu bersahut demikian. Seperti biasa, namanya juga pria gratisan yang selalu bermodal gratis. Ada-ada saja rencananya.

“Hm ... oke.” Aku menuruti apa yang dikatakan oleh pria itu.

Aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas di dalam, dan kembali lagi ke hadapan mereka berdua.

“Aku sudah siap,” ujarku.

“Boleh kita pergi sekarang?” tanya Ikar.

“Ya!” Aku dan Ran serontak.

Kami pun berangkat ke restoran, seperti yang dikatakan pria itu barusan.

🍁🍁🍁

     Bukannya senang atau apa, kami justru terkejut melihat restoran itu. Ah, jangan-jangan Ikar mau mengerjai kami berdua nih. Sialan. Aku berdiam sejenak, sesekali melirik Ran yang ada di samping kanan, begitupun dengan Ran. Kami saling lirik, kemudian kembali lagi memandang restoran tersebut.

“Ikar, yang benar saja!” Aku menggerutu, memandang Ikar yang tersenyum miring.

“Jadi ... kau membawa kami ke sini?” tanya Ran memandang kosong arah Ikar.

“Ini restoran five star, Bung!” seru Ikar, menepuk pundak Ran.

“Tidak mau, ah!” tolakku tegas, “nanti kau kabur meninggalkan kita berdua. Gara-gara ulahmu ini, jadi Ran kan yang membayarnya!”

Ikar memang pria bermodal gratisan. Saking gratisnya, sampai-sampai pria itu kabur dari restoran saat kami tengah makan bersama. Kami merasa dibodohi oleh pria konyol bertampang China seperti dia.

“Kali ini aku serius,” ujar Ikar, tampaknya dia menunjukkan dua jemarinya berbentuk huruf V. Apakah dia benar-benar serius kali ini? Atau, dia hendak mengelabui kami lagi?
“Benarkah?” Kunaiki sebelah alis. Benar saja, dia serius. Hm ... aku harap begitu.

“Ayolah, percaya padaku ... sekali saja,” pinta Ikar.

Aku membulatkan mata, mencoba untuk mempercayainya. “Ya, baiklah. Awas saja kalau kau menipu kami, lihat saja!”

“Iya, iya. Jangan khawatir.” Ikar tersenyum kekeh sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal.

Aku dan menghela napas. Kemudian, kami bertiga pun masuk ke dalam restoran itu.

🍁🍁🍁

     Di dalam restoran, kami bertiga duduk di kursi masing-masing. Kami—aku, Ran, dan Ikar—memesan beberapa makanan dengan alasan Ikar yang membawarnya. Pelayan restoran itu menggangguk, kemudian pergi meninggalkan kami.

Aku sengaja membawa buku teka-teki silang yang ada di dalam tas, kemudian meletakkan buku tersebut di atas meja bersamaan dengan pulpen. Membuka buku tersebut dan mulailah mengisi jawaban.

Suasana hening.

Ikar memandangku bengong, sementara Ran sibuk dengan ponselnya.

“Shani, kau tidak bosan melakukan hal seperti itu setiap hari?” tanya Ikar.

Aku mendongak sambil mengetuk-ngetuk kepala dengan pulpen. Sesekali menjawab, “Ini hobiku, memangnya kenapa?”

“Apa kau pernah bosan dengan hal seperti itu?”

“Tidak.”

“Boleh kulihat?”

“Boleh,” singkatku, memberikan buku itu pada Ikar.

Dia melihat-lihat isi dari buku tersebut. “Binatang yang hampir punah, memiliki dua cula di hidungnya?”

“Jawabannya badak,” jawabku, “kembalikan sini bukunya!”

Ikar menggeleng heran, memberikan buku itu padaku. “Nih!”

Aku menerimanya dengan kasar, menghela napas dan mengisi kembali teka-teki tersebut.

Tak lama kemudian, pelayan restoran itu datang membawa banyak makanan yang kami pesan. Pelayan restoran itu meletakkan makanan di meja, sementara aku memasukan buku teka-teki di tas.

“Wah makanannya sudah datang? Lumayan banyak,” seru Ran yang mulai menyantap makanannya.

“Ikar,” panggilku pada pria itu.

“Ya, Sha?”

“Apa kau serius?” tanyaku melirih.

“Kau bisa melihat papan yang ada di belakangmu.” Dia tersenyum santai, sambil melihat apa yang ada di belakangku.

Aku dan Ran menoleh, menyipitkan mata melihat papan itu.

“GRATIS PEMESANAN MAKANAN, BILA MENGAJAK TEMAN ISTIMEWA ANDA.”

Ran yang sedang makan, saat itu juga ia memuncratkan makanannya yang masih dalam mulut.

What?!”Aku mulai kesal terhadap pria gratisan seperti Shikar Parekh. Damn! Dia berkali-kali membuatku kesal.

“Aku benar, 'kan?” ujar Ikar tersenyum kemenangan, “harusnya kau bersyukur, karena aku serius. Hehe ....”

Aku menghela napas panjang, menahan sabar menghadapi pria yang satu ini. Dasar pria gratisan!! Aku memang kesal awalnya. Tapi harus bersyukur juga, karena sulit mendapatkan teman seperti dia. Apapun bisa didapatkan dengan gratis, bila dia ada di sisi kami.

🍁🍁🍁

Middle To Riddle Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang