Prologue

374 18 11
                                    

Sabtu yang cerah, secerah senyum Jongdae di pagi hari yang hampir membuat jantung Luhan copot karenanya. Beruntung ada Yixing yang selalu melerai mereka di kala penyakit Jongdae sedang kambuh. Well, Luhan memang tak suka keusilan Jongdae yang berlebihan itu.

Beda ceritanya dengan Kris. Pagi yang cerah ini tak ia manfaatkan bahkan untuk sekedar membersihkan diri di kamar mandi-perlu diketahui kalau Kris belum mandi sejak dua hari yang lalu. Mungkin bagi Kris, selimut dan kasur jauh lebih menyenangkan dibanding sinar matahari pagi yang membantu pertumbuhan tulang.

Yeah, walau begitu ada satu hal yang mampu mempersatukan perbedaan di antara keempat pria tersebut. Yap! Makanan.

Oh, kurasa tak perlu kuperjelas bagian ini karena kuyakin kalian pun tak ingin mengetahuinya. Bagaimana tidak? Maksudku, keempat pria itu sekarang tengah memperebutkan roti isi di ruang tengah apartemen mereka.

Ini gila, cukup liar jika kau melihatnya secara langsung ketika Kris menaikkan kakinya ke atas meja hanya untuk merebut roti isi yang dipegang Jongdae. Lalu Luhan, pria itu hampir saja melayangkan panci ke kepala Kris dan Jongdae yang tak berhenti berkelahi. Dan, Yixing? Oh, pria kalem itu tengah melahap perlahan roti isinya setelah mengamankan pisau sejauh mungkin dari jangkauan Luhan.

Well, Sabtu yang benar-benar cerah, bukan?

Namun, apa jadinya Sabtu yang cerah itu bila bibi Kris menelpon?

***

"Apa? Tempat penitipan anak?" Luhan memekik, hampir tersedak dengan susu cokelat yang ia minum.

Kris hanya mengangguk penuh kepasrahan, bingung atas apa yang harus ia lakukan dengan situasi yang begitu mendadak ini. Apalagi hanya teman-temannya ini yang bisa ia mintai tolong untuk membantu menjaga tempat penitipan anak milik bibinya.

"Memangnya, Bibi Pei tak punya asisten untuk menggantikannya sementara waktu?" Yixing bertanya sembari menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Orang yang biasa membantu Bibi Pei baru saja berhenti beberapa minggu yang lalu. Katanya ia sedang mengambil skripsi, jadi tidak bisa membantu." tutur Kris.

"Yeah, kurasa anak-anak tidak begitu buruk." celetuk Jongdae di tengah keheningan. "Iya, kan, Yixing?"

"Hmm, anak-anak memang lucu-"

"Nah, berarti permasalahannya terletak pada Luhan."

"Kenapa aku?"

"Karena aku dan Yixing setuju."

"Yixing tidak bilang kalau ia setuju, Jongdae."

"Tapi dia bilang kalau anak-anak itu lucu."

"Hei, teman-teman!" tukas Kris, coba hentikan adu mulut antara Jongdae dan Luhan sebelum berakhir fatal. "Kalau kalian tak mau membantuku, tak apa. Mungkin aku harus melakukannya sendiri-"

Oh, aku tak yakin jika Kris mampu melakukannya sendiri dan setelahnya ia masih bisa memijakkan kaki di bumi. Maksudku, menjaga beberapa anak cukup merepotkan, Kris. Akan sulit jadinya jika kau memaksakan untuk melakukannya sendiri tanpa bantuan teman-temanmu.

"Baik, baik! Aku setuju." Luhan memotong, hampir tunjukkan amarahnya yang mulai tersulut karena Jongdae.

Oh, semoga tak akan terjadi hal buruk macam apa pun. Semoga.

***

Tempat penitipan anak milik bibi Kris memang tak begitu terkenal. Lokasinya berada tak jauh dari pusat perbelanjaan-well, ini sebuah keberuntungan. Selain itu, kalian bisa temukan toko komik yang berada dua blok dari lokasi. Yeah, mungkin menjaga tempat penitipan anak bukanlah hal yang begitu buruk.

"Bibi Pei sudah pergi?" tanya Yixing dari balik pantry. Pria dengan ciri khas lesung pipi itu tengah memastikan kalau mereka tak akan kehabisan makanan-hingga setidaknya jam tutup tiba.

"Ya, dan kita punya empat hari untuk berjaga di sini."

"Oh, dia bahkan pergi tanpa memberi briefing untuk kita."

Ting..tong.

Kris dan Yixing berani bersumpah kalau itu adalah suara bel terseram yang pernah ada. Ya, tak seseram itu juga, sih. Hanya saja.. anak pertama datang? Itu cukup mendebarkan.

"Buka pintunya, Kris." pinta Yixing setelah berulangkali bel itu berbunyi namun tak ada satu pun dari mereka yang membukakan pintu.

"Aku?" Kris bertanya balik yang hanya dibalas dengan putaran bola mata Yixing.

"Hei, kemana yang lain? Apa mereka tak membuka pintunya? Kita, kan, sedang di belakang. Cukup jauh un-" Ucapan Kris segera terpotong, manakala Yixing mendorong Kris pergi ke pintu depan.

Oh, semoga saja Kris selamat.

***

"Sehun? Jongin? Kyungsoo?" Itu Jongdae, yang sedang mengecek daftar anak-anak yang dititipkan di tempat mereka. "Baekhyun?"

Satu pukulan telak mendarat di bagian belakang kepala Jongdae. Sungguh, aku yakin pukulan itu milik Luhan.

"Kau gila? Baekhyun terlalu kecil untuk menyahut panggilanmu!"

Well, Luhan benar. Baekhyun baru berusia enam bulan dan kurasa ia belum mampu berkomunikasi dengan baik.

"Maaf, maaf." Jongdae berucap sembari mengusap-usap kepalanya.

"Jangan lakukan itu di depan anak-anak." Tiba-tiba suara Kris terdengar, diikuti dengan sosok tingginya yang bergabung dengan mereka di ruang tengah.

"Jadi, ada empat anak hari ini?" simpul Yixing yang datang sembari membawa kue-kue manis kesukaan anak-anak.

"Sebenarnya, ada enam." sambung Kris.

"Enam?"

"Halo, Paman!" Sapaan yang terdengar aneh di telinga Kris, Yixing, Luhan dan Jongdae mengisi seluruh ruangan. "Namaku Kim Junmyeon. Dan aku-"

"Dia anak orang kaya." bisik Kris pada Yixing.

Yixing hanya mengangguk-angguk, tanda mengerti dengan maksud Kris. Kalian lihat saja, diusianya yang masih muda itu, Junmyeon memakai baju branded dan ia membawa dompet. Tebak! Ia punya kartu kredit di sana!

"Ya, ampun." Jongdae menepuk dahinya. Hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Lalu, satu lagi mana?" Luhan bertanya setelah menghitung jumlah anak yang ada di ruang tengah.

"Itu." Kris menunjuk ke belakang Junmyeon. Anak laki-laki usia sekitar 6 tahun, berpakaian serba merah dan membawa sebuah tongkat yang ia mainkan seperti ahli bela diri.

"Ciiaaaatttt!" Anak laki-laki itu melompat, berulangkali mainkan tongkat kayunya. Penampilannya bisa disamakan dengan aksi bela diri di tv. Namun..

Prrraaanngggg

Nampan berisi kue-kue yang Yixing bawa jatuh karenanya.

"Oopss."

Kris memijat dahinya, Yixing mencoba menahan Luhan yang marah akibat hampir terpukul oleh tongkat anak laki-laki itu, lalu Jongdae? Malangnya pria itu. Ia terkena nampan yang melambung karena terpukul tongkat.

Omong-omong, namanya Tao.

"Maafkan aku, Paman. Namaku Huang Zitao. Kalian bisa memanggilku Tao."

Daddy Day CareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang