Part 2

48 2 12
                                    

Suara klakson mobil itu menggema di basement parkiran Wynfridd University. Seorang pemuda berambut ikal menoleh dan segera menghampiri pemilik mini cooper merah yang dari tadi tidak berhenti memencet klakson.

Tok tok. Laki-laki itu mengetuk kaca mobil yang berwarna gelap.

"Berhenti membunyikan klakson mobil mahalmu ini."

"Hei, apa masalahmu?" Bentak pemilik mini cooper merah itu ketika membuka kaca mobilnya.

"Kau... nona kaya yang angkuh. Di depan baru saja ada kecelakaan. Kau bisa sabar sedikit tidak?" Pemuda itu tampak tidak dapat menyembunyikan rasa bosannya melihat kelakuan gadis yang ia juluki Nona Kaya Angkuh itu.

"Kalau dia kecelakaan, memang urusanku? Bukan aku penyebabnya! Jadi biarkan aku, yang tidak terlibat apa-apa, untuk lewat!"

Kata kecelakaan menjadi sebuah kosakata yang ingin dibuang jauh-jauh oleh Mia. Ia benci kata itu. Terakhir ketika ia mendengar kata itu, ia kehilangan semuanya. Ibunya. Ayah dan kakaknya memang tidak terlibat dalam kecelakaan, tapi mereka berdua berpaling darinya.

Ayah dan kakaknya justru kembali kepada bibi Carmen dan membiarkannya hidup sendiri di London. Mereka semua adalah masa lalu pahit Mia di Barcelona. Orang-orang yang secara sosial adalah keluarganya, namun kenyataannya mereka semua adalah pengkhianat ulung.

"Kau ini benar-benar gadis sinting yang angkuh."

Suara klakson kembali menggema di basement dan membuat pria berambut ikal sebahu itu merasa kesal. Ia terpaksa meminta petugas parkir untum membuka satu pos darurat agar trouble maker ini tidak membuat kekacauan yang semakin memalukan.

"Nona, kau silakan ke pos itu," ujar pemuda berambut ikal itu menununjuk ke arah pos darurat khusus gadis di depannya ini.

Tanpa ada kata terima kasih atau semacamnya, Mia langsung menginjak pedal gas di mobilnya dan meninggalkan pemuda itu.

Dasar gadis kaya angkuh, gerutu pemuda itu.

***

Harry, pemuda berambut ikal itu, kembali menemui kerumunan orang di depan kampusnya. Korban kecelakaan itu nyatanya tidak membawa kartu identitas supaya keluarga atau temannya dapar dihubungi.

"Susah kalau dia tidak punya identitas begini," celetuk Liam, teman Harry.

"Pakai identitasku saja. Nanti uang rumah sakit sementara ditangguhkan padaku," balas Harry tanpa pikir panjang.

"Kau?" Balas Liam dengan pandangan kau yakin? Biaya rumah sakit?

"Eh," gumam Harry keki. Aduh sial, kenapa bisa percaya diri sekali aku bicara seperti itu!

"Sudahlah. Kita bawa dia ke rumah sakit. Aku yang akan bayar perawatannya untuk sementara sampai kita bisa menghubungi keluarganya," putus Liam ketika ia melihat Harry hanya memberikan senyum kekinya.

***

Keesokan harinya, Harry datang dengan wajah acak-acakan. Ia memakai dress code-nya seperti biasa -kaus warna polos, kemeja yang tidak dikancingkan, sepatu converse putih, tas ransel abu-abu, dan tusuk gigi yang suka ia gigit-gigit- ketika memasuki kelas lab perencanaan sistem bisnis.

Untungnya hari ini dia datang lebih cepat, sehingga ia mendapatkan tempat strategis. Bangku pojok nomor dua dari belakang. Dan karena ini juga kelas lab, ia bisa dengan leluasa untuk beraktivitas.

Kelas masih akan dimulai sekitar 20 menit lagi. Masih cukup kalau hanya sekedar dihabiskan untuk melanjutkan tidur paginya yang terganggu akibat alarm ponselnya yg berdering tiada henti serta obrolan mengenai proposal bakti sosial yang menjadi tanggung jawab barunya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang