Prolog

348 33 8
                                    

"Tuh si nenek sihir datang." Arini berbisik pada Vivian, lalu menegakkan tubuhnya. "Kalo lo di apa-apain, jangan teriak. Percuma, nggak akan ada yang nolong." Ia menepuk pundak Vivian pelan sambil memasang wajah prihatin. Tatapan matanya seolah mengatakan 'Jaga diri baik-baik, ya' dan langsung kembali ke kubikelnya membiarkan Vivian menghadapi si 'nenek sihir' sendirian.

Langkah kaki dan ketukan heels yang berirama bak model catwalk itu semakin mendekat ke arah Vivian. Hingga suara itu kemudian lenyap, berganti tubuh tinggi menjulang di depan mejanya. Vivian mengangkat kepala, lalu tersenyum 'kelewat' manis pada wanita cantik di depannya.

"Selamat siang, Bu", Vian menyapa. "Bapak ada di kantor", tambahnya sambil menunjuk ruangan di belakang mejanya.

Wanita cantik itu melipat kedua tangan di depan dada, mengangkat dagunya tinggi kemudian tersenyum sinis. Sebuah kebiasaan yang sudah sangat di hafal Vivian karena di alaminya hampir tiga minggu sekali dalam lima bulan terakhir. Dan Vian juga tahu, setelah ini wanita di depannya itu akan mengatakan,

"Kamu disini di gaji buat kerja, bukan gosip."

Tuh, kan? Sesuai yang di pikirkan Vian. Ia hanya akan manggut-manggut. Dan wanita cantik itu akan berkata lagi,

"Kerja disini itu nggak cuma modal cantik. Banyak yang lebih kompeten buat gantiin sekretaris yang hobby-nya tebar pesona doang."

Persis sesuai perkiraannya. Kali ini Vian menunduk sambil menghitung dalam hati kapan wanita ini akan segera pergi dari hadapannya.

Wanita itu membuang napas kasar seolah sangat malas berhadapan dengan sekretaris suaminya ini. "Ternyata suamiku tidak cukup pintar menerima karyawan."

'Si nenek sihir' itu mengibaskan rambut panjangnya ala-ala model shampoo, lalu menghentakkan kakinya melewati Vian menuju ruangan di belakangnya.

Vian menghela napas sepelan mungkin agar tidak di dengar wanita sihir itu dan menghitung dalam hati lagi.

Satu.....

Dua.....

Ti-

Nenek sihir cantik itu menoleh ke belakang lagi. Menatap deretan kubikel di seberang meja Vian dan kembali berdesis menyebalkan,
"Kalian semua di bayar buat kerja. Bukan nguping."

Serentak bunyi keyboard terdengar bersahutan. Wanita itu mendengus keras lalu berbalik dan menghilang di balik pintu kerja suaminya.

"Ck. Cantik-cantik tapi itu mulut subhanallah pedesnya", decak Vian.

Rafi, kepala divisi dokumentasi menyembulkan kepala dari balik kubikelnya. "Makanya lo ikut rukiyah sana. Ilangin dah tuh kutukan 'sekretaris cantik penggoda pak Bos'."

Suara cekikin terdengar, menyusul celutukan Rafi, membuat Vian mendelik ganas ke arahnya.

"Udah, Vi, cuekin aja. Yang penting kan gaji lo paling gede," hibur Arini.

Vian mendengus kesal, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena kedatangan si nenek sihir.

***

Alvin menghempaskan punggungnya ke kursi kebesarannya sesaat setelah pasien terakhir meninggalkan ruangannya. Ia memijit kepalanya pelan. Tubuhnya lelah dan Alvin menyadari itu. 32 pasien dalam jangka waktu dua jam praktek, sudah cukup menguras tenaga dan pikirannya.

Pintu ruangannya dibuka dan Alvin melihat suster Rinda menganggukan kepalanya. Alvin memberi isyarat agar perawat bertubuh tambun itu masuk.

"Dok, malam ini jadinya praktek apa tidak? Ada banyak yang mau buat appointment."

Alvin menggeleng. "Saya keburu ada janji, Sus. Tapi, kamu sudah sampaikan kalo saya memang tidak praktek malam ini, kan?"

"Sudah, dok. Tapi, ya gitu. Pasien dokter kan rata-rata rewel, sudah di sarankan buat periksa ke dokter Mina aja malam ini, eh malah saya yang kena omel", gerutu Suster Rinda.

Menjadi asisten dokter ganteng adalah pekerjaan yang lumayan berat. Bayangkan jika satu pasien saja terkadang sampai setengah jam lama konsultasinya, padahal keluhannya cukup sepele. Pilek. Belum lagi yang masih mengantri di luar ruangan. Yang bola matanya melotot hingga nyaris keluar karena kelamaan menunggu. Siapa lagi yang kena omel? Ya, susternya.

Terkadang Suster Rinda merasa kasihan pada dokter gantengnya ini. Dokter Alvin pasti lelah. Pagi hari sampai siang harus praktek di poliklinik umum sebuah Rumah Sakit pemerintah. Siang sampai sore, praktek lagi di Klinik Venus ini. Dan di hari rabu-kamis masih nambah jam praktek malam pula. Benar-benar gila kerja si dokter ganteng ini.

"Mungkin dokter Alvin lagi butuh duit, makanya kerja kayak orang kesurupan gitu," kata Suster Lina asisten dokter Mina pada suatu hari saat para suster sedang rumpi cantik di jam istirahat.

"Ah, nggak mungkin. Dokter Alvin kan anak orang kaya. Kalo butuh duit juga tinggal minta. Ngapain sampe kerja kayak gitu?" Suster Pita asisten dokter Vicky spesialis mata menyela.

"Mungkin dokter Alvin gila kerja karena butuh pelarian", bisik Suster Dian yang sedang hamil muda. "Kalian pernah dengar nggak, dokter Alvin kan dulu katanya pernah batal nikah. Siapa tau doi belum move on."

Suster Lina mengangguk-angguk. "Iya, sih. Aku juga pernah dengar kabar itu. Kasian amat si dokter ganteng."

"Yang katanya calon istrinya selingkuh itu ya?"

"Iyaa.."

"Sus.." Alvin mengerutkan dahinya. "Suster Rinda.." panggilnya lebih keras.

"Iya, eh, iya dokter ganteng." Suster Rinda tergagap begitu kembali dari lamunannya.

Kerutan di dahi Alvin makin dalam. "Suster ngelamun?"

Suster Rinda tersenyum bersalah. "Maaf, dok."

Alvin menghela napas, lalu menyambar kunci mobil dan tas kerjanya. Ia beranjak dari kursinya. "Tolong di rapiin ya, Sus. Kalo ada yang buat janji untuk besok, bilang besok praktek saya mundur jam 3 sore." Alvin keluar ruangannya, meninggalkan Suster Rinda yang dengan cekatan merapikan meja dengan papan nama bertuliskan 'dr.Alvinendra Varesh Davanka' diatasnya.

Unplanned LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang