1) Tuan Alis Tebal

128 21 8
                                    

"Gue heran dia masih nggak di gugat cerai si Bos." Mikha mengusap tangannya yang dipukul Arini sambil bersungut-sungut.

"Sembarangan banget sih." Arini menelan suapan terakhir salad buahnya. "Bos kan cinta mati sama istrinya. Justru lo yang bakal di gugat cerai sama BU TV kalo Bos tau omongan lo barusan."

"Bos nggak bakal tau kalo nggak ada yang ngadu"

Arini mengangguk santai. "Bersiaplah. Gue akan ngadu setelah ini."

Mikha berdecak lalu menendang kaki Arini di bawah meja persegi yang mereka tempati tanpa rasa bersalah.

Arini mendelik kesal lalu memandang Vian yang sejak tadi hanya menikmati kentang gorengnya seraya mengamatinya dan Mikha bergantian. "Lo dulu pernah liat sendiri kan pas Bos ninggalin rapat penting gara-gara dapat telepon dari rumah?"

Vian mengangguk. Mikha menyimak.

"Sayang banget lo nggak liat gimana pucetnya wajah si Bos." Arini menatap Mikha, memberi kesan dramatis. "Pokoknya pucet sepucet pucetnya pucet." Arini menyorongkan badan ke depan. Seolah apa yang akan dikatakannya adalah rahasia besar yang hanya segelintir manusia saja yang boleh tahu. "Lo tau nggak Mikh, kabar apa yang didapat pak Bos waktu itu?"

Mikha menggeleng, makin penasaran.

"Bos kita yang kece abis itu ninggalin rapat penting cuma karena dapat kabar istrinya kena diare. You know? Diare. Astagaaaa.."

Mikha melongo. "Serius?"

"Super serius." Arini menegakkan badannya. "Tanya aja nih si Vian, dia juga tau."

"Bener Vi?" Mikha menoleh pada Vian.

Vian menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Nggak gitu. Ya emang diare, sih. Tapi, bu Altha sampe dehidrasi kan."

Arini berdecak, "Ya sama aja, Vi."

"Beda, Ni. Itu dehidrasi loh."

"Sama. Intinya kan mencret, ih."

"Tapi, bu Altha sampe opname. Kalo nggak parah ya nggak mungkin lah."

"Namanya juga orang kaya, Vi. Bisulan aja opname," kekeh Arini.

Vian menghela napas. Berdebat dengan Arini itu percuma. Buang-buang waktu dan tenaga.

"Kok lo malah belain dia sih? Padahal disengitin mulu juga."

"Ah, iya," Mikha menjentikkan jarinya. "Lo nggak benci apa sama istri si Bos? Mukanya ngajak perang terus gitu kalo nongol."

"Gimana ya?" Vian menggaruk hidungnya. "Nggak benci sih, cuma bingung aja gue kenapa bu Altha kayaknya benci banget sama gue."

"Lo pernah bikin masalah kali sama dia," ucap Mikha.

"Ya ampun, Mikh. Yang bener aja. Upik abu kayak gue nyari perkara sama Bos."

"Terus kenapa mukanya jadi kayak minta ditampol gitu tiap kali ketemu lo.. "

Vian mengangkat bahu pertanda ia juga gagal paham dengan sikap istri atasannya itu. 

"Karena takut lo godain si Bos kali, Vi. " Arini mengedarkan pandangan menyapu seluruh sudut Kafe sebelum berujar pelan.  "Si Bos kan baru ganti sekretaris dua kali ini.  Yang dulu-dulu kan sekretarisnya udah pada berumur gitu.  Masih di atas si Bos lah umurnya.  Baru lo ini yang muda.  Makanya jadi kayak cacing kepanasan gitu istrinya. "

Vian berdecak.  "Apa bagusnya gue sih?  Cantikan dia kemana-mana loh"

"Padahal udah oplas muka dimana-mana, tapi masih aja takut su-... awww" Arini meringis pelan ketika kakinya yang berada di bawah meja untuk kedua kalinya ditendang dua sahabat di samping kanan kirinya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unplanned LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang