Kejadian itu terulang lagi pagi ini.
Sudah biasa, sudah biasa. Bukannya jam weker yang membangunkan kami, tetapi kegaduhan itu yang melakukannya.
Bukan ulah tikus, tetapi ulah sepasang manusia yang sedang meluapkan emosi mereka, mengadu ego mereka, dan meredam jiwa hangat mereka.
Tapi seperti yang kubilang tadi, ini sudah biasa.
Segala sahut menyahut dengan suara lantang juga terdengar diselingi bunyi dentuman barang yang jatuh. Tak lupa suara sesuatu yang pecah, entah itu piring, vas bunga, ataupun cermin.
Tunggu, setahuku tidak ada cermin di dapur.
Pagi ini lagi lagi semuanya terasa kelam.
Dapur pasti sudah benar benar dalam keadaan hancur. Entah sudah tinggal berapa jumlah sisa alat alat makan dirumah kami yang masih selamat dari perang yang suka muncul tiba tiba.
"Aku gak mau sekolah, Stevie." Adikku yang mungil, Steve, menarik ujung kemeja ku yang kini tengah mempersiapkan ransel sekolah.
"Masih akan ada perang susulan," kumasukkan semua buku pelajaran kedalam ransel dengan cepat, lalu akhirnya turun kebawah sambil menuntunnya. "Sebaiknya kita berlindung di sekolah dan jauhi medan perang."
Baru saja kami berdua menginjakkan kaki kami pada anak tangga paling bawah, mama telah terlihat berdiri di ruangan tengah. Kondisinya kacau dengan wajah masih dipenuhi kekesalan.
"Ikut mama, mama ingin bicara."
Kami berdua berjalan mengikuti mama dalam diam. Entah akan dibawa kemana, tetapi kami percaya bahwa mama masih waras untuk tidak mengakhiri hidup kami berdua karena terlalu stress dalam hubungan pernikahannya.
Langkah mama terhenti di ruang tamu. Ternyata aku salah, bukan hanya dapur, tapi seluruh rumah sudah di porak porandakan oleh ulah mereka berdua.
Kalau boleh kuakui, ini mungkin adalah yang terparah dalam sejarah pertengkaran mereka.
Steve masih dalam keadaan memelukku ketika kami mengambil duduk.
"Ini sudah keputusan mutlak, tidak dapan diganggu gugat." Pandangan mama bergilir memperhatikan kami berdua. "Kami akan bercerai."
Tangan kecil steve yang masih melingkar di pinggangku tak bergeming. Ia belum cukup mengerti untuk bereaksi dari kata kata yang diucapkan oleh mama. Aku sendiri masih terdiam. Memandang mama, menatap tepat ke arah matanya, menelusuri kebenaran dari perkataannya.
Tetapi nihil. Sorot mata mama penuh keyakinan. Tak ada sedikitpun keraguan ketika mengucapkan hal itu, kenapa bisa semudah itu?
"Kamu dan steve ikut mama."
Ucapan mama mengundang sahutan lantang dari papa yang berjalan menghampiri kami. "Mereka ikut dengan saya!"
"Ha?! Kamu pikir kamu dan selingkuhan kamu bisa membesarkan kedua anak ini?!"
"Tentu saja. Kami berdua, sementara kamu sendirian!"
"Tapi aku ibu mereka!"
Aku menarik steve keluar dari rumah tanpa mengacuhkan perdebatan yang kembali memanas itu.
Ucapan mama tadi masih menohok hatiku. Meski masih belum benar benar percaya, tetapi sinar mata mama ketika menatap papa yang kini telah berbeda meyakinkanku. Kilatan sinar mata mereka telah berubah satu sama lain.
Tidak ada lagi perasaan cinta diantara keduanya. Hanya tersisa luka. Bukan hanya mereka yang merasakannya, tetapi juga aku.
Bagaimana aku dan Steve harus hidup ketika kami disuruh memilih salah satu dari mereka berdua.