Yogyakarta, September 2008
Ditinggal Ayah pergi ke Bangka Belitung sudah menjadi kejadian bulanan yang tak terbantahkan, pasti terjadi. Pekerjaan politik dan urusan yang pelik senantiasa mengikuti kemana pun Ayah melangkahkan kaki, termasuk bertemu keluarga di Jogja. Aku sudah terasah dengan kerinduaan pada Ayah.
Tapi, menjelang akhir tahun 2008 kala itu, ada kabar yang begitu mengejutkan. Bukan hanya mengkagetkanku, tapi juga Kakakku yang dari tadi tak berhenti meneteskan air mata. Aku tidak mau bicara, benar-benar diam seribu bahasa. Wajah kecilku kala itu bergeming, tengah menahan haru yang begitu besar.
Kali ini bukan hanya Ayah yang pergi, Ibu juga ikut serta. Bahkan, bukan hanya sehari dua hari atau satu bulan, melainkan setengah tahun. Mengganti tabung gas elpiji habis saja aku dan kakaku tak sanggup apalagi ditinggalkan Ibunda kami.
Ah! Aku tak habis pikir. Kenapa ibu harus ikut serta dalam menyambut pesta demokrasi tahun 2009. Bukankah Ayah biasa sendiri? lagipula teman ayah juga banyak jumlahnya. Aku tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut dari ibu soal. Aku tidak peduli lagi, yang aku pikirkan hanya "Ibu sudah tidak peduli pada kedua anaknya ini".
3 Hari sebelum keberangkatan Ibu dan Ayah, aku tetap enggan bicara. Aku masih mencoba membayangkan kehidupanku tanpa seorang Ibu, tinggal bersama nenek di rumahnya yang jadi satu dengan tempat usaha. Udara panas perkotaan, bunyi bising mesin kendaraan yang bergantian melesat sepanjang malam di jalan raya depan rumah itu, atau sosok jin hitam yang gentayangan di tengah malam meneror siapa saja yang melintasi sumur belakang. Aku teramat sangat benci rumah itu. Rumah hantu.
Malam sebelum keberangkatan, ibu mengajakku duduk di ruang tamu. Aku kepalkan tanganku kuat-kuat tepat di atas dengkul kanan dan kiriku. Badanku bergetar hebat, gigiku tak sanggup lagi menahan tangisan yang meluap-luap. Ibu mendekapku kuat-kuat. Kurasakan air matanya mengalir pelan membasahi ubun-ubunku. Kawan, bagiku ibu adalah sahabat karib yang tidak bisa aku lepaskan. Tidak pernah sedikitpun aku bosan mendengar omelannya, keluh kesahnya, tentang kerinduannya pada Ayah, tentang khawatirnya kalau aku tak kunjung pulang, bahkan pukulannya yang kadang kala begitu keras itu pun tak akan aku biarkan menguap meski meninggalkan bekas telapak tangannya di sekujur tubuhku.
Ayah yang biasanya bicara banyak kali ini menjadi pendiam, satu kata pun tak keluar dari mulutnya yang hitam. Sorot matanya padam, pergi meninggalkan kami berdua yang masih berpelukan dengan erat. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah akan keluar dari rumah dan membuka bungkusan rokok yang baru dibelinya tadi. Maklum. Sejak SMP Ayah kecanduaan pada rokok. Sampai sini kawan, jangan sedikitpun kalian tegur Ayah untuk berhenti karena kalian akan kelelahan. Ayah begitu keras kepala, dia akan melawan dengan argumen yang beragam, dan argumennya merujuk pada sebuah kesimpulan bahwa rokok itu baik untuk kesehatan.
Pelan-pelan Ibu menjelaskan,
"Kehadiran Ibu di samping Ayahmu selama di sana itu penting bang, tahun ini Ayah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif"
"Kalau abang tidak sekolah pasti Ibu akan ajak abang juga ke Bangka"
"Tenang saja, abang belajar yang benar, doakan Ayahmu supaya berhasil di sana, jangan sampai sakit nak, jangan sampai tidak belajar!" Sorot mata ibu yang basah menjadi penutup malam terakhir yang terasa begitu berat.
Kawan, ketahuilah bahwa kata-kata dari ibuku adalah mutiara kehidupanku di masa kecil. Perintahnya adalah mutlak dan tidak bisa dilawan. Lucunya, aku juga tidak pernah melawan, berniat saja tak berani karena aku memegang kuat mantra kehidupan "Surga itu ada di bawah telapak kaki Ibu".
Hari itu menjadi kali terkahir, aku dipeluk Ibunda di penghujung tahun 2008. Tahun kelam, kejam, tapi begitu berkesan.
YOU ARE READING
Merah Dasar
Short StoryPengalaman masa lalu yang membawa penulis termotivasi untuk menuliskan kembali kisah-kisah lamanya. Tidak begitu banyak insipirasi, tapi ingin berbagi. Penulis bukan penulis handal, tidak suka menulis tapi penulis merasa bahwa tulisan ini harus diba...