Yogyakarta, 2008.
Sudah masuk minggu keenam, dan aku tak juga kembali senang.
Aku dan Kakakku sedang benci pada Halim karena sikapnya yang semena-mena memperlakukan kami. Sepertinya ibu sudah salah langkah, menitipkan kami pada adiknya. Dia tidak menguasai seni menjadi orang tua, tidak tau sopan santun, dan tidak punya belas kasihan pada keponakannya yang tinggal sebatang kara.
Kami berdebat hebat di kamar miliknya. Dua melawan satu. Tapi ia dengan kepala batunya, dan kekonyolannya tetap memperjuangkan pendiriannya, tak mau kalah.
Duduk perkaranya adalah semalam kami baru saja mengundi siapa yang harus tidur di kamar belakang, bersebelahan dengan sumur tua seram. Sudah kami undi sebanyak 3 kali, dan selalu namanya yang terpampang.
Aku tak habis pikir, kenapa orang dewasa tidak mau mengalah. Apa karena mereka punya kuasa? Kenapa suka memutar balikan fakta? Luar biasa.
Ketidakmampuanku mendebati Halim membuatku mengalah. Yang untuk kesekian kalinya, menjadi penghuni kamar belakang. Lembab, berdebu, bau, dan berhantu.
Karena tidak tega, Kakakku mau menemani. Malamnya, langkah kakakku sempoyongan. Aku genggam tangannya, sedingin es. Aku rasa pikirannya melayang ke masa lampau, ingatannya tentang sesosok mahluk hitam tinggi, menggendong cangkul, dan bermuka rata. Ku beri nama, Halimun. Karena aku benci Halim, dan takut pada Mumun, nama pemeran utama sinetron horor yang berjudul "Jadi Pocong".
Para penghuni rumah beranggapan Halimun tak lebih dari sekedar kahayalan, bahwa ia sebenarnya tak ada, dan tak lebih hanya imajinasi kakakku yang mengigau di malam hari. Tapi tidak denganku, kawan. Ku lihat dari sorot mata Kakakku, Halimun benar-benar ada. Jin penghuni sumur tua belakang.
Lebih gila lagi, aku kadang menganggap Halimun seorang eksentrik yang dianugerahi kemudahan menghilang dalam sekejap. Manusia dengan kemampuan luar biasa. Mirip-mirip superhero.
Sudah pagi. Pikirku, matahari sudah mulai merekah, aku buka kedua mataku. Tepat di sampingku nampak bagian belakang Kakak. Rambut tergulai halus menyentuh tanganku.
Jahil, aku mainkan rambutnya. Aku tarik-tarik sedikit, dia tertawa dengan wajah yang masih belum bisa aku lihat.
Tunggu, belum pagi, bahkan belum berganti hari. 11 malam. Aku mulai gusar, keringatku spontan mengalir dari pelipis kanan dan kiri. Sial, baru aku sadar. Kakaku ada di belakangku.
Lalu siapa dia? Tidak mungkin Halimun. Ini perempuan. Perempuan!
"A'udzhubillahhiminasyaitonnirrojim... Bismillah.." Belum selesai aku ucap dia mulai menggerakan kepalanya ke arahku.
Semakin serong
Semakin jelas
Mulutku semakin cepat berkomat-kamit. Entah apa yang aku ucap. Mungkin taa'wudz, mungkin Basmalah atau malah Aserehereharehe rehemekureme bea beo.
"...." Aku diam. Mataku tak berkedip.
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakan. Nafas yang semakin berat dimakan lembabnya ruang. Debu kasur kapuk tua menyumbat trakea jangkrik yang berhenti berisik. Senyuman itu, senyum jahat itu.
"Hi..hi...hi" tawanya keluar
"..." Aku tak menjawab
Pucat pasi, bibirnya merah, giginya banyak yang hilang, matanya hitam, nafasnya bau. Bukan Kunti, bukan juga Halimun.
Itu Nenekku.
Kalau bukan penyelamatannya yang gemilang di hari kelahiranku. Sudah ku gorok lehernya di malam itu. Hehe, canda. Aku terlampau mencintainya. Dia memang bukan pahlawanku, bukan juga alur ceritaku. Tapi menghormatinya dengan cinta, adalah bentuk baktiku pada Ibu. Sekian.
-abangdalil-
2008 dengan sedikit improvisai.
YOU ARE READING
Merah Dasar
Short StoryPengalaman masa lalu yang membawa penulis termotivasi untuk menuliskan kembali kisah-kisah lamanya. Tidak begitu banyak insipirasi, tapi ingin berbagi. Penulis bukan penulis handal, tidak suka menulis tapi penulis merasa bahwa tulisan ini harus diba...