GERAKAN SAYAP KIRI di Hindia Belanda dengan jelas muncul lewat pengaruh dari para Sosial Demokrat dan Sosialis Belanda. Tetapi hanya sedikit gagasan tentang Anarkis yang diketahui.[1] Walau begitu salah satu yang pertama kali mengkritik sistem kolonialisme di Hindia Belanda adalah penulis-anarkis Edward Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samarannya yaitu ‘Multatuli’ (1820-1887). Ia bekerja pada tahun 1842-1856 di dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda, di situ ia berkenalan dengan kebrutalan kolonialisme dan membuat pidato, karya seni serta artikel yang menyerang, dan mencoba untuk membangkitkan opini publik melawan penjajah. Pada awal abad ke-20, teks-teks Multatuli memberi pengaruh signifikan pada pekerja Anarkis dan sindikalis di Belanda.[2]
Cucu laki-laki Multatuli, Ernest François Eugène Douwes Dekker (1879 – 1950), campuran dari keluarga Eropa-Indonesia, menjadi salah satu pejuang gerakan anti-kolonial di Hindia Belanda. Selama perjalanannya ke Eropa pada tahun 1910-1911, ia menjalin kontak dengan pejuang gerakan radikal untuk pembebasan koloni, termasuk dengan Shyamaji Krishnavarma India, yang kemudian hari menggambarkannya sebagai “anarkis politik”, yang menjalankan taktik-taktik gerakan individual dan pembunuhan. Di majalah Het Tijdschrift yang diterbitkan oleh E.F.E. Douwes Dekker di Jawa sejak tahun 1911, artikel-artikel dari penulis kiri dan radikal asing diterbitkan, termasuk Krishnavarma dan anarkis India Har Dayal. Penerbit di dalam penekanan dirinya yang dia tulis, mengingatkan pembatasan hak pekerja di Eropa itu sendiri, dan dia tidak percaya bahwa demokrasi parlementer dapat berguna sebagai jalan menuju masyarakat yang ingin ia ciptakan. Dia mengisyaratkan kemungkinan untuk menggunakan metode kekerasan yang revolusioner, meskipun dia menambahkan bahwa jalur revolusioner yang diusulkan tidak selalu menggunakan metode kekerasan. Pada bulan Februari 1913, dia secara terbuka menulis bahwa perlawanan terhadap kolonialisme adalah tugas moral, karena tidak peduli seberapa “lunak” rezim kolonial, sistem ini selalu didasarkan pada ketidaksetaraan, ketidakadilan dan hak istimewa para penguasa, dan oleh karena itu mau tidak mau kolonialisme adalah bentuk dari despotisme dan tirani. Sebagai metode perjuangan, E.F.E Douwes Dekker menyebutkan demonstrasi, agitasi, revolusi, perlawanan pasif, pemogokan (terutama di bidang komunikasi dan transportasi), boikot dan pemberontakan. Dia menyambut baik gerakan revolusioner modern di berbagai negara yang ada di dunia dan, mendukung propagandis anarkis dan sosialis di Eropa, menyambut sabotase dan sindikalisme, mengutuk sosialisme reformis. Dia menyebut Yesus Kristus sebagai “seorang anarkis yang agung” dan pejuang bagi kebebasan.Meskipun demikian, pada tahun 1912 Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, tidak ada anarkisme dalam programnya, juga dalam aktivitas organisasi ini.
Serikat pekerja yang muncul di Hindia Belanda dari dekade pertama abad ke-20, dipengaruhi oleh kaum sosialis Marxis, yang pada bulan Mei 1914 membentuk Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia (ISDV). Anggota perhimpunan tersebut juga bekerja secara aktif di ketentaraan kolonial dan angkatan laut, yang bergabung dalam serikat adalah anggota-anggota dari armada kapal Hindia Belanda yang memiliki pangkat rendah. Selama Perang Dunia Pertama –kelompok yang menyebut dirinya “Serikat Tentara dan Pelaut” (Union of Soldiers and Sailors), pada bulan November 1918 melakukan pemberontakan tentara dan angkatan laut di Surabaya, juga melakukan pembentukan Dewan Deputi Tentara dan Pelaut. Terlepas dari hegemoni Sosial-Demokrasi di dalam gerakan ini, ada pula referensi tentang pengaruh anarkis di dalamnya, meskipun tidak sepenuhnya jelas dari sumber tersebut, apakah mereka merupakan pendukung gagasan anarkis yang sadar, atau definisi ini hanya merujuk pada sentimen kata anarkis itu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anarkisme di Indonesia
PoesiaSemua isi Esai ini Ditulis oleh Mas Vadim & Kirill Tujuanku Hanya Memperluas Esai ini. Sekian Terima Kasih.