"Jadi untuk contoh kali ini, coba kita buat beberapa kelebihan dan kekurangan mengenai Area Parkir Motor di sekolah kita," Ujar pak guru yang berbadan besar, Pak Zaenal.
"Nah kan, giliran di ajak bercanda banyak yang mau. Giliran gini aja engga ada," Sungut Pak Zaenal sambil berkacak pinggang, aku dan teman-teman sekelasku tertawa keras menanggapinya.
"Pak, saya!" Kedua mataku langsung menoleh, melirik temanku Riski.
Ah, kumpulan anak-anak yang asal jawab, tidak peduli mau benar atau salah.
"Ya, apa? Riski Febrian?" Tidak, dia bukan anak dari komedian Sule, tapi namanya memang Riski Febrian!
"Eum, itu pak! Kurangnya keamanan di Area Parkir. Kadang-kadang pasti ada saja yang kehilangan Helm atau apapun itu." Aku mengangguk setuju.
"Pak, saya mau jawab!" Ah, itu Levin.
"Adanya senioritas di Area parkir, pak! Masa di tempat parkir kelas 12 ada tribun atapnya, kita tidak? Benar, kan?" Kami langsung bersorak heboh, menyetujui ucapan Levin.
Memang benar! Sebagian dari kami membawa motor, mengendarai motor kesekolah. Seharusnya memang tidak boleh secara umur, tapi untunglah sekolah masih mengijinkan.
Dan untuk yang di ucapkan Levin tadi, Parkir untuk kelas 11 dan kelas 10 terbagi di sebelah Selatan Sekolah dan juga di depan perpustakaan sekolah. Sedangkan untuk kelas 12, parkir mereka sangat khusus.
Di belakang aula, di dekat kantin. Dan lagi parkir mereka berada di dalam tribun yang tidak terpakai di sekolah, jadi tentu saja! Motor mereka tidak akan kehujanan, kepanasan.
Oke, kembali lagi ke dalam suasana kelasku. Kami masih bergurau mengenai masalah yang dianggap Senioritas ini.
Dulu saat waktunya mos, kak Adimas. Kakak kelas yang menjaga kelasku pernah bilang, 'Dek, jangan pernah parkir di tribun belakang pokoknya!' aku hanya mangut-mangut karena tidak tahu apa-apa.
Tapi seiring berjalannya waktu, banyak temanku yang menyatakan beberapa rumor. Jika kamu parkir disana maka hancurlah ban motormu saat pulang nanti oleh kakak kelas.
Aku yang mendengarnya hanya bergidik ngeri, untungnya sih aku tidak bawa motor kesekolah.
"Sudah-sudah! Bagaimana kalau kalian ngomong langsung sama kakak kelasnya saja? bapak mana tahu hal begitu." Ujar Pak Zaenal yang menyadarkanku dari lamunanku tentang ganasnya kakak kelasku.
"Ya, boleh! Sini tinju sama aku aja, aku ga takut." Haha, itu Budi di krempeng di kelasku. Sudah krempeng, kepalanya juga gundul karena dia ikut paskibra! Seperti tuyul berjalan saja.
"Beneran ini? bapak panggilin, ya?" Kami serentak langsung berteriak heboh sembari menyetujui.
Pak Zaenal lalu melangkahkan kakinya keluar kelas, kepalanya menoleh ke kanan-kiri, mungkin mencari kakak kelas.
Awalnya kukira ucapannya hanya candaan, tapi ternyata ia benar-benar memanggil salah-satu kakak kelas yang lewat!
"Angkasa! Danu! Sini nang, sini!" Sontak aku dan teman-temanku langsung tertawa, ketahuilah aslinya kami agak gugup.
"Ya, pak? Ada apa?" Tanya kakak yang kulitnya putih pucat.
Jadi, dua kakak tadi yang satu kulitnya putih dan yang satu, uhm, maaf, agak hitam! Ke ke ke, aku jadi ingin meminum kopi susu.
"Ini lho adikmu tadi ingin komplain karena tempat parkir kalian ada tribunnya! Ayo coba kalian lawan. Siapa tadi yang mau lawan?"
Kami kompak melirik Budi yang sekarang diam seribu bahasa. Wajahnya terlihat gugup dan takut! Haha aku tidak tahan untuk tertawa.
"Budi pak tadi yang mau ngelawan!"
"Ya, Budi gimana pembelaanmu?" Tanya Pak Zaenal.
Kelas yang tadinya ramai menjadi sepi sunyi, seperti tidak ada orang. Sedangkan aku masih fokus menatap kakak kelas yang berdiri di depan kelas.
Keheningan masih meliputi sampai kakak kelas yang berkulit putih tadi berucap,
"Pak, kalo mau protes bukan ke kita. Ke David tuh pak." Ucap Kakak kelas yang kutahui bernama Danu, setelah temanku memberitahuku.
"Oh bukan ke kamu ya, bukan? Yasudah sana kalian balik ke kelas saja."
Pak Zaenal pun melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda tadi. Sesekali berguman karena nyatanya Budi tidak berani melawan, kami pun tertawa sampai jam pelajaran berakhir.
"Eh gila ya, mas Danu putih banget anjjir!" Aku menolehkan kepalaku, menatap Qilla yang dengan bangga menceritakan tentang Mas Danu tadi.
"Emang lo dulu se-SMP sama dia, Qil?" Tanya Citra yang dibalas anggukan Qilla.
"Woi, mamen!" Aku tersentak, di depanku ada Seivi yang melambaikan tangannya di depanku.
"Eh apaan Sei?" Tanyaku pada Seivi.
Anyway, Seivi adalah salah satu temanku yang termasuk penyuka kakak kelas. Dia adalah orang yang paling ngeselin di kelasku, untung aku baik.
"Ngelamun mulu lo Ngit. Kantin, yuk?" Ujar Seivi sambil menarik-narik tanganku.
Karena cacing di perutku juga berontak, aku pun mengiyakan ajakan Seivi. Kami berdua pun berjalan keluar kelas sambil sesekali berbicara.
Dia terus berbicara mengenai kakak kelas yang di sukainya, sedangkan otakku berpikir keras. Kenapa aku memikirkan kakak kelas berkulit Tan tadi?
Because you wouldn't know, what will happen in the future.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Angkasa
Ficțiune adolescențiIni hanyalah kisah masa SMA-ku, kisahku yang tidak bernilai bagi orang lain tetapi sangat berharga bagiku. Kisah spesial yang hanya aku yang mengalami, bagaimana aku terkejut, bagaimana hebohnya aku dan teman-temanku saat dia menatapku atau sekedar...