Jika memang pilihan untuk meninggalkan tanah kelahirannya adalah pilihan terbaik. Maka ia akan pergi secara cuma-cuma demi kebahagiaan yang sekian lama ia angan-angankan.
Negeri yang berjuluk Sakura. Negeri yang banyak dijadikan banyak tambatan orang sebagai negara yang ingin mereka kunjungi. Memang, semua yang dominan nampak oleh mata adalah gemerlap dan keelokan, tetapi nyatanya ia berada di sudut gelap dari gemerlap tersebut, dirinya hanya menjadi bayangan semu yang nyaris tak terlihat di balik elok. Semua hal yang ia tanggung adalah ketidakramahan.
Surai panjangnya yang sekelam malam ia selipkan di belakang telinga dan ia masih enggan mengalihkan pandangannya dari langit yang entah kenapa terasa begitu cerah tanpa adanya gumpalan awan, jangankan gumpalan bahkan goresan saja nyaris tidak terlihat seolah memaksa mata yang juga sekelam malam itu merasakan kekosongan yang sama.
Terdengar helaan nafas pelan.
Tiga tahun silam ia memang telah meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih untuk pergi ke negara Korea Selatan, bersama dengan paman dan bibinya. Disini paling tidak ia mempunyai tempat untuk pulang, tempat yang bisa disebutnya rumah, juga ia mempunyai dua orang yang keukeuh mengklaim bahwa mereka adalah sahabat, dia sih senang-senang saja. Tetapi banyak hal yang juga tidak berubah, dan bahkan ada hal yang terungkap dan mungkin bisa merenggut suka cita yang telah ia ukir susah payah, dan bisa saja berujung merenggut eksistensinya di dunia ini.
Tak cukup sampai disitu, ada masa lampau yang ingin dilupakan tetapi enggan menghilang dari pikiran. Kenapa? Banyak yang bilang itu karena mereka menyebutnya hubungan sedarah, hubungan antara anak dan orang tua. Gadis tersebut meringis pelan di akhir pemikirannya. Tak cukup kah semua yang ia alami selama umurnya yang selalu berhitung mundur nyaris sampai batasnya.
Ia sudah lelah..
Ia merasa ingin cepat-cepat beristirahat yang panjang.
'Jangan berpikir macam-macam ya. Kau tidak memutus hidupmu juga, pasti berujung mati."
Matanya menggelap mendengar suara tersebut terngiang diotaknya. Perkataan ketus temannya itu muncul saat ia agak emosi mendengar suara keputusasaan darinya. Berakhir dengan isakan dramatis dari kedua orang itu. Yang satu mencoba meminta maaf atas pikiran bodohnya dan yang satunya lagi memberikan kalimat yang bisa memberi kekuatan kepada gadis rapuh itu.
Memang benar semua yang dikatakan olehnya..
"Aynaaaa!" Pintu di ruangan itu menjeblak terbuka secara paksa, dan membuat gadis manis yang sedang duduk di brankar terlonjak kecil diiringi kepala yang terpaksa menoleh (untung saja tulang lehernya tidak patah). Jangan lupakan kedua matanya membulat.
"Hei, Alisha! Sudah kubilang 'kan namaku sekarang adalah Yuone." Gadis bersurai hitam yang dipanggil Ayna itu memasang wajah datar.
"Hei, Ayna! Sudah kubilang juga 'kan nama Ayna lebih mudah di ucapkan daripada Yuone." Mereka berdua saling menatap garang dan akhirnya tertawa.
Yuone berpikir bahwa nama Ayna akan mengingatkan tentang masa lalunya. Sudahlah, ia mencoba abai.
"Kau sendirian, Alisha?"
"Hah? Tentu saja tidak, aku kesini bersama—"
"Scheiß! He! Alisha! Kau selalu saja meninggalkan ku."
"—Armin. Ups! Kau berjalan terlalu lambat sih, aku 'kan ingin cepat-cepat bertemu, Ayna kita yang manis." Alisha memeluk Ayna hati-hati. Ayna meringis.
"Quatsch."
Alisha mendelik kepada lelaki satu-satunya di ruangan itu. "Duh, Armin! kenapa kau hobi sekali mengumpat padaku sih. Padahal kau ramah pada yang lain."
YOU ARE READING
Distraught
De TodoAyna Haruka. Gadis yang kurang beruntung atas nasibnya selama delapan belas tahun perjalanan hidupnya. Hingga ia mendengar seseorang berbicara di dalam otaknya layaknya, sugesti. Sugesti yang menakutkan dan penuh keputusasaan.. ORI FIC