Tsugumi Kurokado adalah anak seorang Kannushi bernama Haitaka Kurokado. Impian Tsugumi sejak kecil adalah meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai Kannushi, yaitu penjaga kuil shinto atau jinja. Usaha turun temurun yang sudah digeluti keluarga Kurokado, menjaga kuil Amabiki.
Pada masa ini, Kannushi dipercaya sebagai orang yang menerima mukjizat dari kami atau dewa. Kannushi bisa mengadakan ritual pensucian bagi orang yang mengalami serangan dari siluman. Semalam Haitaka mengadakan prosesi pensucian atas serangan siluman yang menimpa putri kepala desa. Tsugumi ingin sekali melihat bagaimana ayahnya mengusir siluman yang sudah mengacaukan kehidupan manusia. Namun ayahnya berkeras, belum waktunya Tsugumi mempelajari hal tersebut.
Melanjutkan tahap mogok bicara pada sang ayah, Tsugumi memilih tidak mengikuti acara doa pagi. Dia merebahkan diri di bawah pohon yorishiro yang dililit tali suci. Ayahnya pasti marah jika melihatnya bersikap kurang ajar di depan pohon yorishiro yang dipercaya sebagai media tempat tinggal kami.
Biar saja, sesekali Tsugumi mau Haitaka memperhatikan dirinya. Jangan terus-terusan mengurus kuil.
Tsugumi yang tinggal bersama Haitaka di kuil menyebabkan bocah laki-laki itu jarang berinteraksi dengan anak-anak seusianya. Bukan karena Tsugumi yang enggan bermain. Melainkan, kuil Amabiki terletak di atas bukit yang dikelilingi hutan. Hutan yang dikatakan orang-orang desa sebagai hutan angker. Desas-desus berkembang, ada yang pernah melihat hantu kepala lalu bayangan hitam yang melompat mengejar, juga lengkingan mengerikan.
"Tsugumi-kun."
Mendengar namanya dipanggil, Tsugumi pura-pura tidak acuh. Dia hapal suara yang memanggilnya itu milik sang ayah. Sesekali Tsugumi mau membangkang, menolak panggilan Haitaka.
"Tsugumi-kun," panggil Haitaka lagi. Pria itu tahu apa isi kepala anaknya. Sejak lahir, Haitaka sendiri yang mengasuh Tsugumi, tentu saja dia mengenal karakter putranya.
Mulut Tsugumi sudah gatal mau bicara tapi dia tahan mati-matian. Ternyata diam itu melelahkan, pikir Tsugumi yang dasarnya bawel. Demi menahan suaranya keluar, Tsugumi memutar posisi tidurnya jadi membelakangi Haitaka.
Haitaka berjongkok dekat Tsugumi. Senyumnya mengembang melihat usaha anaknya agar tampak kesal. "Ayah rasa siang ini hanya ayah yang akan turun ke hutan," kata Haitaka seolah bermonolog. Namun matanya melirik usil Tsugumi.
Turun ke hutan, Tsugumi mau. Di sisi lain, dia sayang pada usahanya tidak mengacuhkan ayah. Harusnya ayah membujuk Tsugumi sampai dia mau. Bukannya menyerah. Ah, ayah payah!
"Baiklah, ayah pergi dulu. Jika lapar, ayah sudah siapkan onigiri kesukaanmu." Haitaka berdiri, menghitung dalam hati kapan anaknya akan melunak.
"Ayah!" Seru Tsugumi. Kali ini dia kesampingkan urusan ego, turun ke hutan lebih menyenangkan dibanding diam dan pura-pura marah. "Aku ikut."
Benar tebakan Haitaka, Tsugumi mudah melunak. Maka dua orang ayah dan anak itu pergi bersama.
Tsugumi paling malas pergi dari kuil karena letak kuil yang berada di atas bukit. Dia harus melalui ratusan anak tangga batu untuk tiba di kaki bukit. Pikirannya melayang, membayangkan betapa senangnya jika anak-anak tangga ini bisa bergerak sendiri. Dia tinggal berdiri dan sampailah di bawah. Pada masa Meiji, eskalator memang belum ditemukan. Tsugumi perlu menunggu beberapa ratus kemudian untuk merasakan ide kekanakannya menjadi kenyataan.
Pada pijakan terakhir mereka menuruni bukit, Tsugumi sudah kelelahan. Mau minta gendong tapi malu. Dia sudah bukan bayi lagi. Ayahnya juga belum tentu mau menggendongnya.
Haitaka berjalan di depan, memimpin perjalanan mereka masuk hutan. Tsugumi senang melihat ayahnya mengenakan kariginu. Bahu lebar ayahnya jadi tampak lapang sebagai sandaran saat digendong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tsugumi The Next Kannushi [END]
Historical FictionTsugumi mau jadi Kannushi seperti ayahnya. Dia mau membasmi siluman. Lalu Tsugumi bertemu Hodaka si siluman anjing. Bisakah Tsugumi membasmi Hodaka yang mengganggu?