"Maaf, mungkin ini terakhir kalinya aku nemanin kamu. Dan seterusnya, aku janji nggak akan pernah ganggu kamu lagi"ucapku menatap wajah tampan Lardo sekilas lalu memutar badanku hendak beranjak pergi.
Pria berambut hitam dengan tatanan poni ke samping itu hanya diam membeku ketika Aku meninggalkannya.
Yah, inilah keputusan yang tepat bagiku. Meskipun sakit namun inilah yang terbaik. Sudah banyak luka yang terukir dihati dan tak mampu menampung luka baru lagi.
Aku sadar bahwa Aku tak mungkin bisa bertahan dengan hubungan yang seperti ini. Tak mungkin satu hati menampung dua cinta. Yah, harusnya sejak awal Aku sadar bahwa Aku bukanlah apa-apa. Hanya seorang tokoh pendukung yang mencoba masuk dalam lingkaran kedua tokoh utama.
Aku, hanyalah perusak hubungan orang. Harusnya Aku tak ada, harusnya Aku tak pantas merajut kisah dengannya. Tapi, kenapa? kenapa dia memberiku harapan kalau pada akhirnya dia membiarkan Aku pergi.
Sudahlah! Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Tak ada gunanya menangis sekarang. Semuanya hanya sia-sia. Aku terus menapaki jalan Raya dengan kepedihan dihati. Bulan bersinar terang ditengah kegelapan malam seakan mengejekku yang tengah basah kuyup dengan tetesan air mata.
Hatiku perih seperti tertusuk beling. Sakit tapi tak berdarah. Aku tak mampu membendungnya lagi. Harusnya waktu itu Aku tak usah menaruh perasaan lebih padanya.
#Flashback
Seorang pria dengan kemeja hitam menunggangi motor jenis Ninja merah menghampiriku sepulang latihan dance. Yah, Aku seorang dancer, setiap sore Aku selalu datang latihan bersama teman-teman dan terkadang bosa barengan mereka dan lebih banyak pulang sendiri. Dari semua temanku, hanya Aku saja yang belum punya pasangan. Beberapa temanku sudah mencoba untuk membantu menjodohkanku dengan teman-teman mereka, namun Aku selalu menolaknya dengan alasan masih ingin sendiri.
Cowok putih itu tadinya tak akrab denganku hanya karena kami pernah terlibat satu tim dalam grup dancer, maka dari situlah Aku dan Lardo sedikit demi sedikit jadi dekat.
Setiap pulang dari menari, Lardo selalu menawarkanku tumpangannya. Awalnya Aku merasa tak enak namun pada akhirnya Aku pun mengiyakan saja keinginannya. Sampai-sampai teman-temanku heran melihat kedekatan kami yang terbilang cepat.
Pernah beberapa kali ada yang mengatakan kalau Lardo sudah memiliki pacar. Awalnya Aku tak mempercayai itu, lagi pula Lardo selalu mengatakan kalau gadis yang dibicarakan mereka itu hanya saudaranya. Aku pun memilih mempercayai Lardo ketimbang teman-temanku.
Seiring berjalannya waktu, Aku mulai merasa curiga terhadapnya. Ia selalu terlihat gelisah saat bersamaku karena ponselnya selalu saja berdering. Entah siapa yang menelepon diseberang sana. Pernah Aku bertanya padanya, namun ia selalu bilang saudaranya menelepon. Dan sekali lagi Aku percaya.
Hari-hari berikutnya hubungan kami sangat dekat. Lardo menjadi semakin terbiasa denganku. Kami selalu tertawa bersama bahkan jalan-jalan berdua menghabiskan waktu. Dan itu sangat menyenangkan. Aku selalu menunggu saat dimana cowok itu akan menembakku. Jujur Aku sudah jatuh hati dengannya. Mungkin Aku sudah tidak bisa menyukai pria lain dari padanya.
Namun, satu kenyataan pahit harus Aku telan ketika Lardo mengakui bahwa selama ini gadis yang dibilangnya padaku adalah saudaranya, ternyata adalah pacarnya sendiri. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Dadaku seperti ditampar keras hingga perih tak tertahankan. Ingin sekali Aku menangis, namun Aku tak sanggup mengizinkannya keluar. Aku berusaha menahannya mati-matian.
"Maaf Nay, harusnya Aku jujur saja dari awal. Tapi, Aku nggak mau kalo kamu pergi. Aku sayang kamu Nay. Tapi Aku juga gak bisa ninggalin dia"desah Lardo lesuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Glass (ONE SHOOT) END
Short StoryNaura adalah gadis yang sangat aku hindari di kampus. Aku bahkan tak mengerti kenapa gadis ini selalu tersenyum padaku padahal aku sudah berkali-kali berkata kasar padanya. Apa dia normal? namun, siapa sangka kalau pada akhirnya dialah yang sangat a...