Disclaimer : I don't own Harry Potter and any of the characters. Just For Fun
Well... this is it, my Fanfiction; I am not going to lie, prepare for clichés here, and seemingly similar plots to other works.
Jangan lupa vote dan beri tahu aku komentar cerita ini. Selamat Membaca ^ _ ^
🌼🌼🌼
Hermione Granger dengan tenang menyesap tehnya. Cairan hangat itu perlahan mengalir melalui tenggorokannya. Otot dan tulangnya merileks, secara signifikan juga cairan itu memberikan kejelasan dalam pikiran suramnya.
Ia memandangi pria di depannya, pria yang lebih muda mungkin dua puluh tahun dari usianya. Ia selalu menyayangi pria ini, tapi setampan apapun pria ini saat di usia senjanya. Tidak juga ada alasan yang akan membuatnya jatuh cinta pada orang itu.
Hermione Granger hanya mencintai ayah pria ini, untuk selamanya dan pastinya perasaan itu telah dipatri sedalam-dalamnya.
Albus Severus Potter, sangat menikmati saat-saat ia mampu menemani Hermione. Wanita ini seperti ibu baginya, dan itu telah berlangsung selama bertahun-tahun. Wanita ini adalah faktor konstan dalam hidupnya, tak terbayangkan baginya akan berpisah dengan wanita tua itu, bahkan ketika dulu ia telah menjadi dewasa. Ayahnya pernah berkata: wanita ini akan selalu ada untuk semua orang yang ia sayangi, yang ia pedulikan, dan itu semua lagi-lagi benar... sampai pada hari ayahnya, Harry James Potter meninggal dunia. Bagian dari nenek-nenek ini pun ikut mati. Dan dengan atau tanpa semua alasan logis pun Al bisa tahu. Mengapa Hermione Granger ikut mati seperti ini.
Hermione Granger jatuh cinta kepada Harry Potter, dan ia rapuh saat melihatnya pergi. Ya, ibu penggatinya ini hanya menunggu ayahnya.
Ketika ayahnya meninggal, ibu kandungnya, Ginny Potter née Weasley, tak lagi menjadi seorang ibu baginya, Ia memilih menikah lagi dan membuat keretakan hubungan mereka yang tak pernah membaik. James sendiri, kakaknya memilih tinggal dan menjalani hidupnya sendiri saat kenyataan dipertaruhkan di depan altar. Keduanya membenci ibunya, membenci takdirnya. Keduanya sangat merindukan keberadaan ayahnya. Membutuhkannya sangat saat ini.
Meskipun Al tumbuh menjadi yang terasing dalam keluarganya, tapi Hermione dan Teddy selalu menyambutnya, dan selalu dengan tangan terbuka, baginya mereka lah yang selalu merengkuhnya.
Setiap memperhatikan pantulannya sendiri. Hermione akan selalu mengatakan kepadanya bahwa dia sangat setampan Harry ketika dia di usianya. Entah bagaimana kata-kata itu selalu membuatnya merasa lebih baik.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Al?" Hermione menerobos pikirannya, menyebabkan ia lepas dari transnya dan menatapnya sosok yang tersenyum.
Tertawa renyah, pria tua meletakan cangkir kosongnya ke meja dan menjawab. "Aku tidak pernah berterima kasih, karena kau telah mengurusku setelah Dad meninggal."
Hermione melambaikan tanganya acuh, "Seorang anak tak perlu berterima kasih kepada orang yang peduli kepada mereka, kenyataan bisa membuatmu tersenyum dan bahagia, itu sangatlah cukup."
"Well... ya kau selalu benar," Al tersenyum, ia kembali menyelam dalam pikirannya, ia ingat saat memalukan - juga menegangkan, saat ia mengakui ia naksir istrinya, saingan terberatnya di Hogwarts: Rose Potter née Malfoy. "Aku ingat, kau yang selalu mendukungku yang tertarik pada Rose, itu lebih dari yang keluargaku lakukan."
"Ah ya. Ron dan Weasley lain tidak banyak setuju dan suka dengan anak baik itu kan? Ia begitu pemalu dan pendiam, tak seperti ayahnya sama sekali!" Hermione mengingat-ingat hari pertama kali ia berjumpa dengan Draco, kemudian ia mengerutkan keningnya. "Aku masih berharap pada saat pernikahan walimu itu Ron atau Ginny, bukan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Hundred Years Gone ✓
Fanfiction"Hermione?" Dia bertanya sambil membalas tatapannya, suaranya tidak meyakinkan. Dengan senyum kecil, dan mata cokelat hangatnya dalam kebahagian, Hermione terengah-engah berbisik, "Harry." Kemudian, tanpa hitungan waktu Hermione memeluk Harry erat-e...