Puisi yang Terbalaskan

31 8 6
                                    

Aku masih menatap kertas putih yang kosong dan bersih tanpa adanya coretan pensil di meja belajarku. Angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela kayuku menemaniku berpikir dan bergumul.

Suara detik-detik jam dinding sedikit menggangu pikiranku yang kacau ini dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ini sudah melewati batas jam tidurku. Aku seharusnya sekarang sudah berada di ranjangku yang empuk dan nyaman.

"Aduh, tugas macam apa ini? Mengapa tugas Bahasa Indonesia sangat meyulitkan diriku? Padahal Bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hariku." kataku sambil bergumul dalam hati.

Keesokkan harinya, aku bangun terlambat karena semalam aku begadang untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia yang sangat aku benci. Aku bersiap-siap untuk ke sekolah dengan tergesa-gesa.

Ibuku sudah menceramahiku dari awal aku bangun sampai aku bergegas pergi ke sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit, sedangkan jam masuk sekolah adalah pukul 7 pagi.

Keringat dingin sudah bercucuran di dahiku disaat aku sudah sampai di depan gerbang sekolah. Aku segera berlari ke kelasku dengan rambut yang masih berantakan. Kuintip kelasku dari jendela yang sedikit terbuka, dan ternyata guru Bahasa Indonesiaku sudah ada di dalam kelas sambil memegang kapur putih yang sudah lama digunakan.

Dengan berani, aku berjalan mendekati pintu kelasku. Aku menarik nafas dan sedikit berdoa agar guru Bahasa Indonesiaku tidak akan memarahiku. Aku memberanikan diri untuk meraih dan memegang gagang pintu kelasku.

"Hei, apa yang kau lakukan?" tanya Dimas padaku. Aku tersentak dan sangat kaget saat dia bertanya padaku diam-diam.

"Astaga, kau mengagetkanku! Apa yang kau lakukan disini?!" tanyaku sambil sedikit menaikkan nada suaraku.

"Pertanyaan aneh. Kau tak lihat aku sedang membawa tas sekolah? Aku juga terlambat sepertimu, dasar bodoh." jawabnya dengan sedikit kasar.

Emosiku terpancing dan ingin mencaci maki dirinya. Aku menatapnya dengan kesal dan mulutku sudah siap untuk berkata kasar terhadap dirinya. Namun, guru Bahasa Indonesiaku mengurungkan niatku untuk mencaci maki lelaki yang berpakaian berantakan seperti preman itu.

"Apa yang kalian lakukan disini, Nadya dan Dimas?! Kalian sudah tahu ini pukul berapa?! Sudah tahu terlambat, masih saja bisa mengobrol di depan sini! Ayo masuk!" sahut guruku.

Berpuluh pasang mata menatap diriku dan Dimas yang masuk ke kelas sambil kepala yang tertunduk. Tidak ada suara dari satu siswa pun yang terdengar. Hanya ada suara penggaris meja yang sedang dipukul-pukul oleh guruku yang sedang marah. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dengan mulut yang seketika membisu saat masuk ke kelas.

"Mengapa kalian terlambat? Kalian tahu kan peraturan saya apa? Saya akan menghukum siswa jika mereka terlambat. Sekarang saya hukum kalian dengan membaca puisi yang kemarin saya suruh, dengan suara dan intonasi yang benar ya." kata guruku dengan tegas.

"Saya tidak bawa, pak. Ketinggalan di meja belajar saya." jawab Dimas dengan santai.

"Bagus ya, Dimas. Kalau begitu, kamu saya hukum berdiri selama sepanjang pelajaran di pojok sana. Saya mau besok pagi sebelum bel berdering, tugas puisi yang saya suruh sudah ada di meja saya. Mengerti?" jawab guruku dengan sedikit membentak.

Dimas bergegas berjalan dan berdiri di pojok kelas dengan perasaan tidak berbeban. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih tas sekolahku dan mencari puisi yang sudah aku buat semalam.

Aku mengeluarkan kertas lusuh yang dikarenakan terlalu banyak menghapus dan menatap ke depan. Aku menghela nafas dan mulai membacakan puisi yang kubuat.

Puisi yang TerbalaskanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang