Pagi ini seperti biasa ditemani secangkir kopi arabika murni yang begitu pahit aku mulai membuat sketsa diatas kanvas. Tak selang beberapa lama kurasakan sebuah tangan besar mendarat di pundakku. Aku tahu siapa dia; Dzi sahabatku.
"Bor, bantuin gue." katanya dengan suara bass yang terdengar risau.
Aku mendongak dan langsung kudapati wajah temanku begitu pias.
"Lo kenapa?" tanyaku yang juga mulai merasa cemas. "Kebelet apa udah keteteran dimana-mana?"
"Hanjay," umpatnya lalu duduk di sisi kiriku tangannya menggapai kopi di depanku. Bahaya, aku harus segera bertindak.
Byur!
Semua isi mulutnya dia semburkan tepat di bagian wajahku yang kata banyak orang cukup tampan. Aku sudah mengecewakan banyak orang. Untung saja aku sudah mengamankan kanvasku.
"Njir, pahit benar ini kopi," katanya dengan menjulurkan lidahnya dan mengipasinya. Absurd. "Nyet, hidup lo udeh pahit seenggaknya bikin kopi yang manis."
"Ya. Ya. Ya. Terima kasih atas pujiannya. Mengesankan." kataku mencibir.
Aku kesal. Tentu saja, karena apa yang dia bicarakan itu benar. Dan aku kesal karena dia benar. Hidupku sudah begitu pahit, tidak bisakah aku membuat kopi yang manis. Hidup ini perlu seimbang setidaknya kopi manis sedikit membantu mempermanis kisahku.
"Tolongin gue, Nu." katanya lagi kali ini wajahnya memelas.
"Iya lo kenapa? Gimana gue bisa nolongin lo tahu masalahnya juga kagak." kataku sedikit snewen.
Dia terkekeh, "tapi lo janji jangan bilang siape-siape, ye." dia mulai berbisik. Aku mengangguk malas.
"Sumpah lo, jangan bilang siapapun."
"Iya. Sumpah lo bawel banget."
Aku menatapnya sangar. Sumpah ini orang ganteng tapi tampang oonnya sangat menjengkelkan.
"Lo janji kagak bakalan bilang-"
Aku beranjak dari tempat dudukku tapi tanggan Dzi menahanku.
"Iya, iya, gue ngomong nih gitu aja baper." katanya.
Aku menunggunya untuk berbicara. Lima menit melihat wajahnya yang bersemu dan menahan kata-kata yang akan meluncur dari bibirnya membuatku muak. Haruskah aku pergi saja.
"Gue," lamat-lamat dia berbisik padaku. "Gue jatuh cinta." lanjutnya.
Ah, perkara kompleks.
"Lo jatuh cinta-" desisku pelan.
"Shhhhh," dia berdesis menyimpan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Jangan keras-keras, Nyet."
"Eh, gue kagak treak."
Aku benar-benar dibuat snewen oleh temanku ini. Tidak bisakah dia bicara saja.
"Terus?" kataku lebih lanjut. Dia menatapku. Kuharap dia tidak menyuruhku melakukan hal aneh mengingat tujuannya padaku.
"Menurut lo gue harus bilang apa kagak?" tanyanya raut wajahnya berubah serius.
Aku memikirkan kata yang tepat untuk menjawab permasalahan sahabatku ini. Begitu lama aku mengambil jeda.
"Yah, gue lupa lo kan kagak pernah jatuh cinta." katanya menyadarkanku.
Dia benar. Dua puluh empat tahun aku hidup tanpa pernah sekalipun aku jatuh cinta memikirkannya pun nyaris tidak. Aku tidak pernah tertarik pada seorang wanita manapun selama ini. Menurutku, semua wanita sama. Maksudku, cantik, sopan, dan baik. Aku tidak tahu. Yang kutahu, jika aku memiliki sebuah hubungan semacam hal yang mengatasnamakan cinta entah itu pacaran, teman tapi mesra atau apalah mereka menyebutnya aku tidak akan memiliki prestasi yang bisa kusombongkan pada Nenekku yang selalu membandingkanku dengan sepupuku.
Aku terlalu fokus pada satu titik hingga melupakan satu hal yang aku pun tidak tahu apa hal itu penting atau tidak. Jatuh cinta. Aku melewatkannya. Aku melukis pun, bukan karena aku mencintai ataupun jatuh cinta pada seni. Melainkan untuk kutunjukan pada Nenekku.
Aku memandang sahabatku yang kini sedang mengerutkan keningnya.
"Dari teori yang pernah gue denger jatuh cinta itu memiliki resiko kalau kita berencana untuk mengatakannya." jelasku.
"Itu gue juga tahu, antara diterima dan di tolak." kata Dzi cepat.
"Jadi lo mau ditolak apa mau diterima?" aku tidak tahu pertanyaan itu terdengar keren ditelingaku.
"Ya gue kagak mau ditolak," jawab Dzi yang tampak kusut itu.
Aku melihatnya sebuah kata yang aku tidak pernah mempelajarinya meluncur begitu saja sampai aku berpikir bahwa aku adalah seorang jenius.
"Kalau begitu jangan katakan," kataku pada akhirnya. "Kalau lo bilang, cinta lo berakhir. Kalau lo diem bae, lo bisa jatuh cinta selamanya."
Bukankah itu cukup keren? Dzi saja sampai berpaling dan menunjukan tampang malas kearahku.
"Kalau gitu lo cari solusinya sendiri." kataku sambil berlalu.
***
Online
Sepupu
16:42 : Rul, menurut lo gue bakalan nikah kagak?
16:50 : Bakal atuh, A
Kan setiap manusia sudah ditentukan jodohnya.16:52 : Kalau gue nikah gue harus cinta sama istri gue?
16:53 : Ya harus, A.
Kalau misalkan, kalian belum saling cinta minta ke Allah biar ditumbuhin perasaan cinta dari kalian.16:54: Berarti bener.
16:56: Bener apa?
17:01 : Mending pacaran dulu biar saling cinta.
17:02 :😁😁😁
Aa pacaran sesudah nikah bukan sebelum nikah. Kalau sebelum nikah dosa.17:05 : Ah, lo apa-apa juga dosa.
Gue kagak bakalan jatuh cinta waktu gue terlalu berharga buat hal cetek itu.17:08 : Hey, mungkin aja takdir berkata lain. Bisa saja nanti Aa ketemu perempuan aneh terus langsung jatuh cinta 😁✌✌
17:10 : Yang ada cewek aneh itu yg kegila-gila sama gue!
Aku melempar ponselku kesembarang arah. Menjatuhkan diri di kasur busa dan menatap langit kamarku.
Seorang Wisnu tidak akan kalah dengan wanita manapun! Aku mencatat itu sebagai prasasti kehidupanku.
Dan siapa yang tahu suatu hari seorang wanita aneh, kukatakan dia memiliki tempramen buruk mulai masuk kedam hidupku dan mengalahkanku. Aku benar-benar kalah darinya.