Yang Terlewatkan

21 2 0
                                    

Facebook

Online

Aliandra Madaniah

14:45 : Aku tidak mengerti.

15:08 : Siapa?

15:09 : Kau sudah melupakanku wanita pemarah!

16:22 : Jawab pertanyaanku!

16:35 : Kau tidak tahu cara mengetik pesan?

16:36 : Brisik! Lu siapa sih?

16:37 : Namaku Wisnu yang kemarin sore kau hina habis-habisan!

16:39 : Oh.
Jadi kemarin sore kau merasa terhina.

17:12 : kau tahu apa tentangku? kau tidak tau apapun. Pandangan nenekku, itu segalanya. Semua bilang jika besar aku bakal jadi orang paling sukses! Tapi semenjak dia ada, semua keluarga mulai menyepelekanku! Seperti katamu aku payah dan semua ini gara-gara dia!

18:12 : Boleh saya bertanya? Bagian mana dari cerita anda yang melibatkan keinginan anda sendiri? Sejauh apa anda jadi diri anda sendiri untuk membuat nenek anda bangga terhadap anda? Yang saya tangkep hanya, semua keluarga anda mengharapkan yang terbaik dari anda, tapi anda tidak bisa. Saya tidak menangkap apa yang anda usahakan untuk diri anda sendiri..

18:17 : Apa kau tidak ada kerjaan lain selain ikut campur atau mojokin orang lain!

18:19 : dan yang paling menyedihkan adalah... Anda menyalahkan orang lain karena kepayahan anda.

Brak!

Aku membanting keras ponselku hingga kulihat berantakan di ubin.

"Lo kenapa sih, Nu?" sahabatku yang tadi tertidur terusik karena aksiku. "Kesambet lo."

Dzi mengambil ponselku yang berantakan di lantai dan kembali menyalakannya.

Wanita gila! Aku mengumpatinya di dalam hati.

"Lo kenapa?" tanya Dzi mengguncang bahuku.

"Gue kesel sama cewek—"

"Wooooo... Seorang Wisnu kesal dengan cewek?" aku mendelik tajam meresfon sindirannya.

"Dia sok tahu tentang gue." kataku kesal Dzi duduk disampingku dan menatapku serius. "Katanya gue payah. Gue payah karena gue kagak bisa jadi diri sendiri buat ngebanggain keluarga gue!" jelasku dengan amarah yang sudah tidak terbendung.

"Dasar cewek gila!" umpatku.

"Sabar bor," Dzi menepuk punggungku. "Seriusan tuh cewek ngomong gitu? Sodara lo?"

"Gue kagak kenal sama cewek gila itu."

"Emang agak gila juga dia ngatain lo payah padahal dia kagak kenal sama lo. Emang dia ngomong apaan lagi?"

"Lo baca tuh inboxan gue. Sumpah tuh cewek ngeselin!"

Dzi meraih ponselku yang tadi disimpannya di sisi kananku. Butuh beberapa menit untuk Dzi membacanya, secara dia seorang penulis jadi apapun itu dia akan mencari setiap arti kalimat yang dia baca mencari sudut pandang dan mengambil intisari aku pun tidak tahu dia sering mengoceh tentang ini.

"Hmm.." Dzi bergumam pelan. "Ini konflik batin, bor." katanya sok dramatis. "Lo harus libatin batin lo buat jawab satu pertanyaan. Selama ini, lo hidup sesuai keinginan lo apa lo sibuk ngejar sesuatu yang bahkan lo kagak paham, tapi karena lo lihat keluarga lo akan bangga sama lo karena hal yang lo kagak paham itu jadi lo lakuin itu? Eh bentar. Bahasa gue jadi acak-acakan begini. Sial! Karena jatuh cinta gue jarang baca buku kalimat gue jadi receh begini. Sial."

Aku terdiam. Bahkan aku yang sering terganggu dengan ke—absurd—an Dzi tidak merasa terganggu sama sekali. Apa yang telah kulewatkan? Banyak sekali. Aku sadar sekarang. Aku terlalu banyak membuang waktuku.

Ukuran genggaman tanganmu berbeda dengan milik orang lain. Untuk itu, takaran atas segala sesuatu, berbeda setiap orang.

Tiba-tiba suara wanita gila... Suara Aliandra terdengar jelas ditelingaku. Rentetan kalimat itu bukan hinaan, tapi dia memberitahuku sesuatu yang berharga, aku hanya bisa menggenggam sesuatu sesuai ukuran kepalan tanganku, tak pernah lebih. Kalau memaksakan, tentu dia akan lepas dari tanganku. Sama hal nya dengan melukis, aku melukis karena aku melihat Nenek begitu menyukai lukisan yang Irul sepupuku buat. Dan aku mulai melukis untuk mendapatkan kebanggan dari Nenekku, tapi yang kudapat hanya cemoohan. Harusnya aku melakukan hal lain dan menunjukan pada Nenekku bukan memaksakan apa yang tidak bisa kulakukan.

Boleh saya bertanya? Bagian mana dari cerita anda yang melibatkan keinginan anda sendiri?

Pertanyaan itu. Harusnya aku yang lebih dulu menanyakannya pada diriku sendiri. Apa keinginanku? Apa yang kuinginkan? Apa mimpiku? Aku bahkan belum menemukan jawabannya. Aku terlalu banyak melewatkan hal yang paling berharga di hidupku.

Nikmati saja takdirmu. Ada sebagian orang yang beruntung menikmati takdirnya. Menikmati setiap proses yang dilaluinya. Mengubur jauh-jauh iri dengki dan meluaskan kesabaran tanpa batasnya pada pertolongan Tuhan akan takdir akhirnya. Dan sebagian lagi sibuk membandingkan takdirnya dengan takdir orang lain.

Aku menghabiskan waktuku untuk membandingkan pencapaianku dan apa yang sepupuku capai. Dan aku tidak pernah merasa puas akan hal itu. Sekarang aku mengerti kenapa aku tidak pernah puas. Karena apa yang kulakukan, apa yang kuperlihatkan bukan keinginanku sendiri.

Shit!

Sabar, A, Setiap kejadian, setiap rezeki, segala sesuatu yang ada di hidup kita adalah takaran yang terbaik untuk diri kita, kita sajalah yang sering salah memahami maksudNya.

Tuhan...

Kau benar-benar menghajarku habis-habisan! Aku membandingkan diriku dengan manusia mahal seperti Khairul, jelas jauh. Bukan Kau yang salah mendesainku, bukan Kau yang tidak adil.

Pada akhirnya, apa yang wanita itu katakan, semuanya adalah benar. Kenapa Kau ciptakan manusia sepertinya.

Kau harus bertanggung jawab!

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang