Indira POV
Jam dipergelangan tanganku menunjukan pukul 11.09 malam. Dan aku masih berada di parkiran kantorku yang tentu saja sudah sepi. Bahkan hanya ada security yang sedang menonton televisi di posnya.
Aku menghela nafas berat lalu menyenderkan tubuhku di kursi kemudi.
Memijit pelan keningku sambil memijit pelan pergelangan tanganku yang sejak tadi tak berhenti menari di atas keyboard.Ingin rasanya aku segera pulang dan memanjakan diriku berendam dalam air hangat , yang biasanya berhasil membuat tubuhku rileks dan tidur dengan nyenyak. Tapi dering ponselku yang sejak tadi berbunyi menandakan jika aku tidak akan beristirahat dikasur saat ini juga.
Aku menggeram pelan dan mengangkat telepon dengan malas, "hallo?"
"Kamu dimana? Sudah jam berapa ini, Dira?" Tanya ibuku tercinta yang tentunya berhasil membuatku melemahkan nada bicaraku.
"Adek baru mau pulang, ini baru di mobil." Jawabku yang langsung memasangkan earphone dan mulai meninggalkan parkiran.
"Adek sengaja ya, adek lupa kalau malam ini keluarga Om Barra mau ke rumah?"
Aku menghela napas pelan untuk kesekian harinya malam ini. Tentu saja aku tidak lupa dengan rencana tersebut, rencana bahwa Dewa dan keluarganya akan melamar.
"Maaf ya bu, tadi aku ada kerjaan yang bener-bener harus diselesaikan. Ibu tahu kan, aku baru-"
"Iya, Ibu tahu. Ya sudah, kamu cepat pulang. Ayah kamu sudah menunggumu dari tadi. Hati-hati di jalan, Dek." Dan panggilan terputus begitu saja.
Aku mengusap wajahku pelan lalu menarik napas dalam.
Andai dulu aku berani memperjuangkan cintaku pada Dewa, pasti saat ini aku menjadi orang yang paling bahagia karena melihat lelaki yang aku cintai, memintaku secara resmi pada orangtuaku.
Sayangnya, tadi keluarga Dewa datang bukan untuk memintaku dari Ayah dan Ibu, tapi meminta Alnira. Kakak kandungku yang tentunya saat ini telah menyandang status tunangan bersama Dewaku.
Dewaku.
Apa yang kamu pikirkan Indira!
Dia akan menjadi Kakak iparmu dalam waktu kurang dari 3 bulan kedepan.Dan sayangnya, aku harus menerima kenyataan ini secara lapang dada. Membiarkan hatiku patah tanpa ada seorang pun yang tahu.
Tentu saja Dewa tidak perlu meminta maaf padaku karena patahnya hatiku. Ini semua telah menjadi keputusanku. Saat aku telah menolaknya, lebih tepatnya melepaskannya, aku telah berusaha dan yakin jika Ia akan bahagia dengan pilihannya. Dan tentunya aku bahagia juga jika ia bahagia, dan melupakan perasaanku yang telah bersarang selama 5 tahun dalam hatiku.
Setidaknya untuk saat ini, aku berhasil menghindari acara lamaran yang pastinya akan menorehkan setitik rasa sakit pada hatiku.
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam, Dek, kok baru pulang? Tadi kakak nungguin kamu tapi kamu gak dateng. Kamu lupa kalau hari ini kakak mau dilamar?" Kakaku langsung menarikku duduk di sofa ruang keluarga kami.
Aku yang sudah tidak memiliki tenaga hanya bisa membalas dengan senyum lemah yang tentunya tidak sebanding dengan senyum manis kakakku.
"Minum dulu, Dek. Lemes gitu kamu," ucap Ibuku sambil meyodorkan segelas teh hangat padaku.
"Makasih, Bu," balasku sambil meminum teh hangat manis yang rasanya sangat nikmat.
Entahlah, mungkin karena aku tidak makan dari siang, atau karena memang teh buatan Ibu memang selalu enak. Tapi aku langsung merasa energiku bertambah sedikit, yang aku yakin cukup untuk membalas pertanyaan Kakak dan Ibuku.
"Maafin Adek ya, adek hari ini banyak banget kerjaan yang harus dikasih ke atasan besok. Jadi adek gak bisa pulang dan menghadiri acara tadi, sekali lagi adek minta maaf ya," aku yakin alasanku ini terdengar sedikit tidak masuk akal.
Atasanku itu tidak mungkin memintaku memberikan laporan besok. Wong orangnya saja tadi cuti karena akan melamar kakakku.
Ya, atasanku adalah Dewa Bara Diharja, cinta pertamaku yang sekarang akan menjadi Kakak iparku. Lelaki tampan yang mampu membuat Alnira Prasasta, wanita dewasa yang lemah lembut dan tidak pernah memiliki seorang kekasih mampu memberikan seluruh hatinya hanya untuk seorang Dewa.
Ibu dan Kakakku kompak memberikan senyum manis yang entah mengapa membuatku sedikit sesak dibuatnya.
"Ya sudah, tak apa, Dek. Yang penting nanti kamu datang saat Kakakmu menikah." Ucap Ibu lembut sambil mengusap lenganku lembut.
Aku beralih memandang Kak Nira, ia pun sama memberikan senyuman yang sedari tadi terpatri di wajah cantiknya.
Aku tertegun, tak pernah sekalipun aku melihat senyuman bahagia milik Kakakku. Selama ini, aku hanya pernah melihat senyumnya yang manis, tapi tak sebermakna ini.
Mungkin keputusanku sudah benar. Dengan membiarkan hatiku terluka, tapi membuat orang-orang yang aku cintai bahagia.
Aku membalas senyuman mereka sebisaku, sambil menahan diri agar tidak mengeluarakan setetes pun air mata.
Tidak, tidak untuk saat ini. Tidak didepan mereka yang sedang berbahagia. Tidak dengan menangisi keputusanku melepaskan Dewa.
.
.
.
.
.
.
Tapi, apa mungkin aku kuat untuk tetap menahan jeritan hati ini saat melihat mereka menikah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Brides To Be
RomanceBagi semua orang, cinta itu adalah satu perasaan suci yag menyimpan sejuta makna. Dan pernikahan adalah titik pembuktian dimana cinta itu bersatu dalam ikatan suci yang diberkati Tuhan. Bagi beberapa orang, pernikahan bukanlah suatu hal yang harus...