do not have to be perfect

1.7K 43 14
                                    

Percaya sama gue, pacaran itu nggak selamanya indah. Nggak selamanya enak. Nggak sepenuhnya percaya. Nggak sepenuhnya berbagi. Dan nggak akan selamanya pasangan itu bersama. Orang yang sudah menikah saja bisa mengalami perceraian. Padahal orang yang sudah menikah itu sudah berjanji kepada Tuhan, kepada para saksi, dan kepada pasangannya sendiri untuk bersedia mendampingi apapun yang terjadi. Dalam sehat dan sakit, kaya dan miskin, susah dan senang, semuanya akan mereka lalui bersama. Namun pada kenyataannya sebuah perceraian bisa saja terjadi. Perfect couple hanya ada di novel roman picisan. Sebuah konflik percintaan sesulit apapun hanya dapat terselesaikan dalam sebuah novel. Tidak di dalam kisah nyata. Apalagi kalau lo pacaran sama orang yang kena kutukan. Mukanya, badannya, hatinya, bahkan matanya terbuat dari es. Dingin. Datar. Nggak ada geregetnya sama sekali. Gue sampai heran sendiri kenapa gue bisa jadian sama dia. Cowo gue memang unik. Saking uniknya gue sampe kepikiran 1000 kali untuk mutusin dia. Tapi selalu nggak jadi karena gue nggak tega. Nggak tega apa gue udah terlanjur sayang ya sama dia? Nggak ngerti deh gue. Cara kita jadian juga nggak kayak pasangan pada umumnya. Umumnya, si cowo akan ngedeketin kita. Istilah jaman sekarangnya sih pedekate. Yang minta nomor hape lah, pin BB lah, line, twitter, kakao talk, semuanya pasti diminta sama cowo itu buat ngedekitin kita. Contohnya temen gue, Dini. Dua bulan yang lalu dia dideketin sama anak IPS, namanya Gilang. Awalnya Gilang deketin gue sampai-sampai gue salah paham gitu. Gue kira Gilang deketin gue karena dia suka sama gue. Tapi ternyata gue salah. Gilang deketin gue karena gue sahabatnya Dini. Dia sering main ke kelas gue Cuma untuk ngeliatin Dini. Dan pas Gilang udah deket sama gue, dia mulai deh deket-deket sama Dini. Sebulan penuh si Gilang nguntit kehidupannya Dini. Bukannya risih, si Dini malah kesenengan. Dia selalu ceita sama gue kalau si Gilang itu perhatian banget. Selalu sms ngucapin selamat pagi, siang, sore, malem, dan kata-kata selamat lainnya. Gilang juga suka nanyain Dini udah makan apa belum. Nanya doang, bukan ngajak makan. Gue sendiri sih rada geli lihatnya. Menurut gue itu terlalu berlebihan.

"Itu mah lo aja yang belom pernah di deketin cowo! Kalo nanti lo punya cowo, lo juga bakal kaya gue, Nyet. Jangan ngatain gue lebay. Kena karma mampus lo."

Begitu komentar Dini waktu gue bilang kalo dia terlalu berlebihan. Jujur, waktu itu gue emang belum pernah sama sekali yang mananya pacaran. Kenal sama anak cowo aja nggak. Satu-satunya cowo yang pernah gue hubungi adalah Ryan, ketua kelas gue. Waktu itu gue sms dia buat nanya masalah uang kas yang nggak pernah jalan. Tapi, sampai sekarang, gue nggak pernah lebay kayak Dini. Gue punya cowo. Tapi biasa aja. Dia nggak pernah sms pagi, siang, sore, malem, kaya pacarnya Dini. Setelah satu bulan pedekate, akhirnya mereka jadian di cafe depan sekolah. Pulang ekskul si Gilang bilang ke gue kalo dia mau ngajak Dini makan di cafe depan. Jadilah hari itu gue pulang sendirian. Dan besoknya si Dini dateng ke rumah gue dan joget-joget nggak jelas, udah kayak orang kerasukan setan. Satu hal yang buat dia kayak gitu: jadian sama Gilang.

Kalian mau tahu gimana ekspresi gue waktu jadian sama cowo gue? Biasa aja.

Gue nggak senang. Apalagi sampai joget-joget kayak Dini. Rasanya biasa aja, serius. Kalau ditanya sebenernya gue sayang atau nggak, jawabannya sayang. Itupun setelah hubungan gue jalan mau dua bulan. Gue senang banget kalau dia nge-line, nanya kabar, atau biasanya dia nanya gue lagi ngapain. Selain itu dia nggak pernah kontak gue. Di sekolah juga kita Cuma makan bareng di kantin, pulang bareng sampai gerbang sekolah. Iya, gerbang sekolah. Romatis kan? Iya, romantis banget.

Jadi ceritanya waktu itu OSIS lagi ada acara di Bogor. Di hutan gitu. Semacam camping, buat ngetes anak-anak yang akan jadi pengurus OSIS di semester depan. Berhubung gue udah mau naik ke kelas XII, jadi pengurus OSIS mau diganti. Gue nggak pernah aktif di organisasi apapun. Organisasi yang gue ikuti Cuma di kelas aja, jadi bendahara. Itu juga gue sukarela karena nggak ada yang mau. Dan gue dipaksa juga untuk ikut ke Bogor. Ekskul PMR kekurangan anggota. Yang harusnya berangkat ke Bogor itu 10 orang, tapi ada dua orang yang berhalangan ikut. Yang satu sakit dan yang satu izin. Dengan polosnya, Davina, ketua PMR, langsung milih gue karena gue mantan anggota PMR. Waktu masih kelas X, kita wajib milih ekskul. Karena nggak ada yang sesuai sama minat gue, akhirnya gue masuk PMR karena ekskul itu yang paling sedikit peminatnya. Padahal ekskul PMR paling berjasa menurut gue. Setiap ekskul lain ngadain acara, ekskul PMR selalu terlibat di dalamnya. Apalagi kalau acara olahraga. Ekskul PMR lah yang selalu siaga. Takut ada yang cedera atau jatuh sakit. Itu pekerjaan mereka. Awalnya gue nolak, jelas lah. Gue nggak mau karena gue bukan anggota PMR lagi. Cuma mantan. Satu kelemahan gue, nggak tegaan. Dan akhirnya, gue berangkat ke Bogor bareng anak PMR, OSIS, dan calon OSIS.

IMPERFECT [Cerita Pendek]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang