"detik terakhir"

25 5 17
                                    

Hepi.. Iya namaku Hepi. Panggilan ku tak seberapa aneh, namun kadang sedikit membuatku lemes mendengarnya. Pipi.. Iya aku dipanggil Pipi.. Mau berontak tapi ku tak kuasa. Karena aku laki-laki mengapa harus dipanggil pipi yang menurutku terlalu alay dan seperti panggilan perempuan. Namun anggap saja panggilan itu tak lebih seperti nickname pada akun sosial media. Ya biarkan sajalah. Walau sebenarnya gerah juga mendengarnya. Bagaimana tidak. Pipi itu tempat para tentara jerawat membuat markasnya. Menyisakan lubang-lubang galian tempat pertahanan yang tak bisa ditutup hanya dengan bedak bayi. Namun lagi-lagi biarkan saja karena masih ada yang sedikit menyenangkan hati. Apa itu. Iya merah merona itu letaknya di pipi. Lesung pipit juga di pipi. Biarkan sajalah mereka memanggil apa. Karena namaku HEPI yang berarti bahagia.

Lahir di kolong langit bagian barat kalimantan. Lebih tepatnya di ekor pulau kalimantan. Ditepi aliran sungai sambas besar nan eksotis. Diatas tanah bergambut berbau asam yang sebenarnya tak bisa dikatakan subur. Dulu tempat ini katanya hutan belantara yang sejuk. Hutan paru-paru dunia katanya. Itu dulu. Sekarang sudah bermetamofosis menjadi desa yang kata orang desa besar. Satu-satunya desa yang memiliki pasar tradisional tepat di tepi sungai sambas besar. Singapuranya sungai sambas besar. Menjadi pusat perdagangan di eranya. Menjadi tempat mencari jodoh pemuda-pemudi jomblo dimasa kejayaannya. Namun lagi-lagi itu dulu sewaktu aku belum lahir. Ya sudahlah. Allah SWT sudah menempatkanku dilingkungan yang baik menurutku.

Ceritaku bermula dari pencarianku sebagai seorang laki-laki labil di sekolah menengah pertama swasta didesaku. Pertanyaan yang sangat sederhana selalu mengiang ditelingaku. Namun tak membuat makanku tak enak apalagi tidur tak nyenyak. Sepertinya itu tak kualami. Hanya detak-detak jantung ini tak berhenti berdegub. Namun wajar sajalah karena aku bukan mayat hidup. Hehehe..

Baiknya adalah Pertanyaan sederhana itu selalu saja menjadi mesin penggerak berkekuatan mesin jet dengan bantuan jutaan tenaga kuda memompa setiap darah ke tubuhku.

Seperti apa aku nanti.?
Pertanyaan sederhana inilah yang selalu ada dan aku yakin menjadi pertanyaan massal para laki-laki labil di seluruh pelosok dunia ini.

Gak enak seh dibuntuti dengan pertanyaan tersebut. Sama gak enaknya ketika gak bisa ngerjain soal matematika di papan tulis yang akhirnya tetap saja salah, yang pada akhirnya jidat harus mendarat darurat di papan tulis. Bukan darurat seh sebenarnya. Namun lebih tepat mendarat terpaksa bercampur kecewa. Karena sejujurnya pelajaran matematika itu seksi. Semakin kedalam akan membuat semakin penasaran.

Sebagai lelaki labil yang selalu menempati rangking 1 di kelas dan 3 besar di sekolah. Aku menjadi manusia pintar paling ganteng tiada tanding di sekolahku. Memiliki fans di kelas walaupun sejujurnya aku tau tujuan mereka hanya ingin nyontek PR ku. Dapat surat kaleng nyatakan cinta dari adik kelas sudah menjadi hal yang biasa. Wajar saja. Karena pesaingku semuanya cewek. Hehehe..

Kembali ke kehidupanku. Ayah yang seorang petani padi dengan luas tanah tak lebih dari 500 m persegi membuat kehidupan kami yang kadang cukup kadang kurang. Kulit hitam terbakar dg otot-otot yang sudah mengendur tak menyurutkan selangkahpun semangatnya aebagai seorang kepala keluarga mencari nafkah. Dibantu seorang bidadari yang sudah mulai keriput yang menurutku dialah perempuan paling cantik sejagat raya. Mengenakan cincin emas tipis di jarinya yang memiliki telapak tangan yang kasar.  Tanda sahnya mereka dan menjadi satu-satunya harta dunia mereka yang memiliki harga. menjadi petani kebun karet yang sehari-hari hanya menghasilkan lateks tak lebih dari 2 kg. Potret kehidupan yang sangat sederhana. Menjadi keluarga kurang mampu tak membuat ayah dan ibuku menjadi peminta-minta. Puasa menjadi hal yang lumrah dikeluargaku. Bukan karena tak punya makanan. Namun lebih karena faktor terbiasa. Tak pernah terlontar kata-kata kasar dari mulut mereka. Sebesar apapun kesalahanku. Selalu saja nasihat yang keluar dari mulut mereka. Sungguh sebuah karunia Allah SWT yang tak dapat dibandingkan dg harta.

Tinggal disebuah rumah kecil peninggalan kakek ku. Bintang-bintang tak hanya bisa dinikmati saat malam. Siang terik tetap kami bisa melihat bintang dari atap-atap rumbia yang koyak dimakan usia. Kalau musin hujan tiba. Tak jarang rembesan air menetes tepat di keningku. Namun tidur tetap tidur dan mimpi tetap saja mimpi. Hehehe..

Tiga tahun mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama sebagai siswa berprestasi membuatku tak memiliki banyak kendala berarti.

Sampai tiba saat perpisahan sekaligus pengumuman kelulusan di sekolah yang merupakan momen yang menegangkan yang ditunggu-tunggu. Tak pernah aku setegang ini. Tak pernah aku berkeringat sederas ini. Kemeja putih dan celana hitamku sudah tak rapi lagi.

Acara hampir saja dimulai. Orang tua siswa kelas 9 sudah berdatangan dan menempati tempat duduk yang telah beruliskan nama anaknya masing-masing. Namun kursi bertuliskan namaku masih tetap saja kosong. Aku masih menunggu di depan gerbang. Sampai akhirnya acarapun dimulai. Namun tetap saja kursi atas namaku tetap kosong tak berpenghuni. Kecewa iya. Namun aku tau diluar sana dia berjuang untuk ku dan keluargaku. Aku mengikhlaskan ketidakhadirannya dengan hati sedikit perih.

Acara demi acara telah dilewati. Sampai pada acara puncak. PENGUMUMAN KELULUSAN dan penyerahan tropi kepada siswa dengan nilai tertinggi. Sepuluh besar dipanggil ke atas pentas. Di panggil di urutan ke 10. HEPI. Itu namaku. Aku maju dengan perasaan yang tak menentu. Satu momen yang seharusnya mereka ada melihatku. Bukan bahagia. Tapi hati ini makin perih. Kembali pembawa acara membacakan siswa yang masuk 5 besar yang berarti kalau aku tak masuk 5 besar. Itu berarti orangtuaku tak melihatku di atas panggung. Hati ini semakin perih. Mataku selalu tertuju ke gerbang sekolah dan kursi kosong itu. 5 besar kembali di sebutkan. HEPI.. Aku hanya diam tanpa ekspresi karena saat itu pikiranku tertuju pada gerbang dan kursi kosong atas namaku. 5 siswa tak disebutkan turun panggung. Tersisa 5 besar. Itu juga masih sama. Mereka belum datang. Semakin hampa rasanya hati ini. Melihat orangtua teman-teman 5 besar yang lain berdiri memberi tepuk tangan untuk anak mereka. Saat mendebarkan itu sudah hampir pada puncaknya. Kembali pembawa acara mengambil alih. Sekarang kita umumkan peringkat 3 besar siswa dengan nilai ujian berprestasi. Kepada siswa yang disebut namanya. Silakan kembali ke tempat duduk. Namaku tak disebutkan. Aku menangis. Tak tau apa rasanya. Bangga, bahagia, sedih, kecewa. Semua menjadi satu. Sujud syukur yang bisa dilakukan. Hanya satu lelaki labil cerdas paling ganteng di pentas. Dua perempuan labil pintar paling cantik bercucur air mata bahagia.

Ini yang paling aku benci. Tiga besar siswa berprestasi. Orangtuanya dipanggil ke atas pentas untuk membuka amplop kemenangan. Orangtua dari dua siswa sudah naik. Orangtuaku..? Mereka belum juga datang. Rasanya ingin lari. Bukan bahagia yang datang. Namun sedih tak terbendung. Air mata ini mengalir pelan di pipi. Dengan bisikan pelan kepada pembawa acara. Aku berkata "mereka tak bisa datang. Maaf"..

Periiiih rasanya memegang amplop yang aku juga tak tau isinya apa. Pikiran ini terasa kosong. Sampai saat pembawa acara menghitung untuk membuka amplop secara bersamaan. Satu.... Dua.... Tiga....
Kedua pesaingku secepat kilat membuka amplop mereka dihadapan orangtuanya. Mereka menangis semakin kencang. Amplop itu masih ku genggam tanpa kurusak sedikitpun. Aku juga tak tahu tangisan mereka itu bahagia atau sedih karena yang kulihat hanya gerbang dan kursi itu.

Teriakan dari teman-teman kelas 9 menyadarkanku.. Buka.. Buka.. Buka..
Ayo pipi.. Buka..

Aku terkejut..nmun buka. Karena teriakan teman-temanku. Seorang yang sangat kukenal dan sangat kutunggu-tunggu.
Aku berlari ke gerbang sambil menangis.. Ayah...

Dia datang di saat detik-detik terakhir..tangis tak datang dari ku saja. Mereka semua menangis bahagia. Kutuntun dia naik ke atas panggung dan kupersembahkan amplop kehormatan itu untuk ayahku buka.

Teriakan teman-teman yang terus menggema bercampur isak tangis kebahagiaan.. Buka.. Buka.. Buka..

Angka I Tertulis..

Aku menjadi juara.. Pelukan bahagia begitu hangat dari seorang ayah yang luar biasa. Sambil berkata. Maaf nak ayah terlambat.. Mengangguk dipelukan hangatnya..membuat tangisku semakin pecah sambil berucap..

Terima kasih ayah..

Tropi kemenangan diberikan dan kupersembahkan untuk dia yang sangat menyayangiku.

Mikrofon diserahkan kepadaku.. Tak mampu mengucapkan apa-apa.

Terima kasih ayah.. Terima kasih ibu.. Doakan perjalananku berikutnya..

Sontak semua tamu yang ada berdiri memberikan tepuk tangan yang meriah..

"selalu positif walaupun sampai detik terakhir. Karena kita tidak sendiri"
-dhedi dharmawan-

Sampai jumpa dilanjutan cerita berikutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Detik TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang