Hasil kelulusan kemarin sungguh memuaskan bagi Ayu yang bertekad kuat untuk melanjutkan pendidikan menuju perguruan tinggi di kota.
Kapasitas otaknya bisa dibilang memadai dan memenuhi untuk mampu bersaing dengan mahasiswa di kota. Sehingga Ayu jungkir balik untuk ke kota bukan karena takut bersaing, tapi ia tak mampu untuk meninggalkan sang ibu dan perasaannya di desa ini.
Berat hatinya untuk meninggalkan sang malaikat, yang senantiasa menabur doa di setiap renungnya. Namun apa daya, mimpinya telah menjadi restu dari sang ibu.
"Ayu apa kau sudah bulat dengan keputusan mu nak?,"tanya ibu malam itu dengan wajah yang melas namun tetap berseri saat berhadapan denganku.
"Tentu bu, Ayu sudah bertekad dari dulu untuk ke kota menyusul ayah dan belajar disana bu." Aku meyakinkan ibu dengan penuh harap.
Ayah tinggal dikota sendiri, karena alasan bekerja, membuatnya jarang pulang ke desa hanya untuk sekedar menengok aku dan ibu. Kiriman uang lewat wesel lah yang mengutarakan kasih sayang nya yang kadang disertai dengan sepucuk surat kerinduan hatinya.
"Yasudah lah nak jika memang niatmu baik, ibu ridho nak." Jawab ibu sembari meneteskan air matanya.
"Iya bu, ini semua adalah buah hasil dari setiap doa mu bu." Aku memeluknya dengan erat tanpa berpikir untuk melepasnya.
Ibu beranjak dari ranjang sembari berjalan menuju pintu lalu meninggalkan kamarku. Air mataku terus mengalir yang sejak tadi ku tahan ketika berhadapan dengannya, rasanya tak sanggup jika aku harus meninggalkan ibu, sambil mengoreskan tinta hitam dibuku kecil yang dulu aku beli bersama ayah.
Dear diary
"Tentang rasa dan duka, aku bersandar pada Illahi dan ridho nya, jika memang ini adalah jalanku, aku harus tetap berjalan melangkah untuk mencapai cita-citaku, sekalipun aku harus meninggalkan rasa cinta pada desa ini serta cinta akan manusia ciptaan mu harus ku titip disini."
***
Pagi menyambutku dengan sinar matahari yang menembus jendela kamar serta kicauan buru yang menawan senantiasa ku nikmati iramanya.
Ibu mengetuk pintu kamarku untuk sekedar mengingatkan ku di balik pintu, karena anak gadis tak baik bangun terlalu siang.
"Nak kau sudah bangun?, sudah solat subuh nak?"
"Sudah bu, ayu sudah solat, sekarang ayu sedang membersihkan kamar bu."
"Ya sudah nak, cepat keluar dan makan bersama ibu."
"Baik bu."
Menikmati masakan ibu yang enak membuatku berpikir jika nanti aku jadi merantau, tak mungkin aku bisa menikmati masakan ibu setiap hari, namun itu sudah menjadi resiko anak rantau yang harus merindukan sosok ibu dengan segala perlakuannya.
"Yuuuu, Ayuu." Ada suara yang memanggilku di luar, dan suara itu sudah tak asing di telingaku.
"Ahh anak itu, masih pagi dia sudah memintaku untuk keluar rumah." Gurauku
"Ya sudah habiskan dulu makananmu yu." Jawab ibu.
"Iya sebentar," suaraku membuatnya duduk di kursi depan rumah dan memarkirkan sepedanya diatas rerumputan di halaman.
"Bu, Ayu pergi dulu." Hendak menemui Lanang. Ibu pun mengangguk.
Aku menaiki sepeda Lanang, yang sejak tadi mulai di ayuh olehnya dari mulai menyusuri jalan raya hingga menuju pesawahan yang menggempar membuat hati semakin tak sanggup untuk meninggalkan, dan sampai di satu tempat dimana aku dan dia selalu menghabiskan waktu bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayu Lanang Tara
Short Story"Apa aku salah menaruh hati pada shabatku?." Kepalaku selalu dikelilingi dengan pertanyaan semacamnya, aku tak mengerti kenapa aku menyimpan rasa terhadapnya, sedangkan aku tak tau apakah dia sama sepertiku?. -Ayu Lestari- "Aku mencintai mu, namun h...