Lucas merasa ia adalah tipe orang yang easy going. Mengalir seperti air yang menuju ke hilir, lagipula bukankah hidup seperti itu, cukup nikmati saja toh air akan tetap mengalir menuju hilir dengan arah yang sulit kita tebak. Dulu ia lebih memilih untuk menikmati masa sekolahnya dengan bermusik, alunan nada dari gitar akustik warisan dari ayahnya lebih membuatnya bahagia ketimbang mendapatkan nilai sempurna di pelajaran matematika. Untuk apa mencemaskan akan menjadi apa dia besok dengan nilai akademis yang selalu dibawah rata-rata, karena pada prinsipnya, yolo yolo, enjoy it~ Lucas mengatakannya dengan nada sembari menari-nari seperti di pub.
Hal yang tak pernah Lucas bayangkan di sepanjang hidupnya adalah berhenti bermusik dan melanjutkan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi. Bagaimana bisa orang berjiwa bebas seperti Lucas akhirnya mengambil jurusan bisnis manajemen, meninggalkan kegiatan bermusiknya, masuk asrama dan menghadiri kelas secara rutin. Oh kerasukan apa? Tubuh tinggi Lucas dengan gayanya yang suka meniru Justin Bieber terlihat tidak mencerminkan anak pintar yang berhasil lulus tes masuk Universitas Toronto. Tetapi begitulah kenyataannya, ia melupakan prinsip yolo-nya, belajar lebih tekun demi memenuhi keinginan mama-nya. Tak pernah ada yang meramal anak seperti Lucas menjadi lebih dewasa setelah lulus sekolah.
'Lucas, kau harus kuliah. Ambil studi yang membuatmu bisa meneruskan bisnis keluarga menjadi lebih baik. Kita tidak mungkin kan bertahan menjadi pemilik kedai kecil?'
Lucas adalah anak pertama keluarga Wong, adiknya barusaja masuk SD tahun ini. Semenjak papa-nya meninggal lima tahun yang lalu, mama-nya lah yang menanggung semua kebutuhan dengan melanjutkan kedai mie hitam rintisan keluarga sang suami. Melihat kondisi keluarganya itu telah membuat Lucas berpikir dewasa. Dia tak mungkin kan terus bersenang-senang dan melupakan fakta bahwa dia memiliki mama dan adik yang mengharapkan Lucas dapat mengubah nasib mereka?
Untung saja dia memiliki teman sebaik Mark yang dengan sabar membimbingnya untuk mencapai impiannya yang sangat tinggi. Jika bukan karena Mark, mungkin Lucas sampai saat ini tak pernah merasakan suasana universitas Toronto.
Dia berjanji jika suatu saat nanti sukses, selain membahagiakan keluarganya, dia juga akan membahagiakan Mark. Dengan menikahinya, mungkin?
~~~
Lucas tak benar-benar melupakan musik, ia masih sering menghadiri pertunjukan musik yang diadakan di sekitar kampus. Tidak menonton sendirian, tetapi ditemani Mark, sahabat sehidup sematinya, oh atau mungkin bisa disebut... pujaan hatinya? Hihihi. Lucas merasa mendapat jackpot besar karena berakhir di universitas yang sama, bahkan asrama yang sama pula dengan seorang Mark Lee. Bukan karena mereka jodoh ya, itu klise sekali. Orangtua Mark ikut andil besar yang membuat Lucas bisa satu asrama dengan Mark padahal mereka di fakultas yang berbeda. Mark yang meminta pada ayahnya untuk mengatur itu semua dan berakhir Lucas tinggal di asrama anak fakultas hukum. Boleh dikata mereka adalah sahabat sejati yang telah bersama semenjak sekolah menengah, pergi kemanapun selalu bersama, jika ada Lucas pasti ada Mark dan sebaliknya. Mark sudah begitu nyaman dengan Lucas dan tak mau mereka berpisah hanya dengan satu alasan.
Mereka satu kamar tetapi entah mengapa Lucas merindukan kebersamaan yang mereka rangkai beberapa tahun yang lalu. Dimana mereka saling berkomunikasi melalui musik, bahagia yang cukup sederhana. Menikmati musik adalah suatu ritual pasangan sahabat itu dan kini Mark melupakannya. Lucas memaklumi jika kini Mark tak memiliki waktu untuk bermusik lagi, tetapi juga tak memiliki waktu hanya untuk sekedar menikmatinya? Hell ya, bunuh Lucas saja, karena ia sudah tak tahan kehilangan jiwa sahabat yang ia sayangi itu.
Seperti sekarang, Lucas berakhir berjalan sendirian di lingkungan kampus setelah puas menikmati konser musik mahasiswa baru. Seperti biasa, Mark meninggalkannya di tengah acara hanya karena penelitian sialan itu. Padahal kalau Mark mau menunggu sebentar, Lucas akan mengajaknya makan malam romantis di restauran dekat kampus yang selalu memutar musik klasik Beethoven. Percuma saja Lucas nyari uang tambahan kalau si pujaan hati tidak ikut menikmatinya.
Pip... pip... pip...
Lucas tersenyum tipis melihat nama kontak yang kini tertera di ponselnya disertai getaran kecil yang mampu menggetarkan hatinya juga. Hihihi.. Mark menelpon, apakah merindukan Lucas, khawatir karena sahabatnya itu belum pulang malam-malam begini, atau kemungkinan terburuk hanya ingin menitip dibelikan isi tinta printer? Sepertinya sih kemungkinan terakhir, apa yang harus diharapkan jika anak rajin belajar sedang menelponmu.
"Haloo murklee~ jangan bilang rindu, itu be--"
'Lucas, nanti pulang belikan obat luka dan perban ya... sudah habis...'
Obat luka dan perban? Oh itu lebih buruk, apa Mark terluka di asrama? Nada santai dari seberang tidak mampu menghilangkan rasa khawatir pada diri Lucas.
"Mark kau tak melakukan aneh-aneh lagi kan?! Oh tidak itu tak penting, sekarang tunggu aku, balut dengan kain seadanya dulu!"
'Jangan berlebihan begitu, hanya terkena pecahan gelas..'
Lucas mendesah kecewa ketika sambungan terputus secara sepihak. Ia masih ingin mendengarkan cerita dari bedebah kecil yang kini berhasil membuat Lucas terpontang-panting, mencari apotek terdekat. Bagaimana tidak khawatir, Mark terluka, lagi, ya itu bukan kali pertamanya. Belum ada seminggu yang lalu Mark melukai tangannya, memang benar ia terluka saat sedang mengupas kulit apel, tapi Lucas tahu Mark memang sengaja mengiris pergelangan tangannya. Lucas meringis kecil, mengingat darah yang mengucur dari pergelangan tangan Mark. Itu saja langsung dicegah oleh Lucas sebelum Mark melukai tangannya lebih dalam. Dan kini Mark sendiri di asrama, bagaimana keadaannya? Mau membuat Lucas mati karena rasa khawatir ini?
~~~
Kamar yang ditempati Lucas dan Mark terlihat gelap tanpa cahaya lampu sekalipun, hanya secercah cahaya yang dihasilkan oleh layar laptop dengan wallpaper sebuah taman dandelion yang indah. Lucas dengan terburu-buru mencari saklar lampu dan menekannya dengan tenaga yang cukup kuat. Matanya memanas melihat pujaan hatinya sedang tertidur di kasur dengan kedua tangannya memeluk jurnal dengan ketebalan yang pas untuk dipeluk.
Lucas duduk di pinggir kasur, mengelus rambut lembut milik Mark. Kemudiaj dengan perlahan ia sedikit mengecek keadaan Mark, menyibak selimut yang menutupi bagian bawah tubuh Mark untuk melihat keadaan kakinya. Benar saja, telapak kaki kanan Mark terdapat bercak darah yang sudah merembes di kasur dan selimut. Luka yang cukup dalam, mana mungkin itu hanya sekedar karena tak sengaja menginjak pecahan gelas. Dan kini anak itu malah tertidur menunggu kedatangan Lucas dan barang titipannya.
"Mark, aku mohon.. jangan seperti ini lagi," Lucas dengan perlahan membersihkan telapak kaki Mark dengan alkohol, ia tahu itu sangat perih dan membuat Mark terbangun karenanya.
Mark mengusap kedua matanya kemudian tersenyum lembut pada Lucas, "Sudah pulang? A-ah, Lucas, jangan kasih alkohol, cukup obat luka saja terus diperban, itu perih.."
"Kalau tahu perih kenapa melukai dirimu sendiri?! Siapa disini yang benar-benar bodoh hah?!"
Mark terisak mendengar teriakan Lucas, ia menjauhkan kakinya yang terluka dari jangkauan Lucas seakan tak mengizinkan lagi lelaki tampan di depannya itu untuk menyentuh telapak kakinya, "Lucas... sakit..."
Lucas benar-benar luluh, ia memeluk tubuh Mark yang terasa makin kurus dan ringkih. Tangan besarnya terus mengelus punggung Mark yang bergetar hebat. "Maafkan aku..." ucap Lucas lirih.
Lucas merasa dirinya adalah orang terbodoh di dunia ini. Pujaan hatinya berada di atap yang sama dengannya, tetapi mengapa Lucas tak pernah bisa membuat dia bahagia? Banyak masalah yang ditanggung lelaki kurus di hadapannya ini, masalah yang tak begitu dipahami orang seperti Lucas.
"Lucas... daddy lulus cum laude saat kuliah dulu... mommy saat berkuliah adalah mahasiswa terbaik di fakultas hukum... kakakku... dia menjadi dosenku sekarang di usia mudanya," Mark meracau dengan air matanya yang masih mengalir, pelukannya pada Lucas semakin erat.
Telapak tangan Lucas mengepal kuat, entah pada siapa dia ingin marah. Keluarga Mark yang 'sempurna' itu selalu menjadi pelaku yang membuat Mark menyakiti dirinya sendiri. Mereka membuat Mark selalu cemas akan hidupnya sendiri, berusaha terlalu keras untuk menjadi yang terbaik. Bahkan Lucas dengan keadaan serba sulitnya, memiliki keluarga yang harus dibiayai, tetapi dia tak berusaha sekeras Mark.
"Mark, aku tak peduli kamu akan sehebat mereka atau tidak! Bisakah kita berhenti membicarakan itu? Kalau perlu buang semua penelitianmu!"
Tbc