Dream

76 2 1
                                    


"Kau belum tidur?" tanya seseorang dari belakangku. Aku menatapnya tersenyum beranjak berdiri dan menghampiri Mama yang sudah duduk di tepi ranjang belakangku. Aku memegang tangannya lebut. Mama menatapku prihatin dan memelukku "sudah jangan memikirkannya. Mama tak mau melihatmu terpuruk hanya karna seorang lelaki" ucap Mama sekali lagi. Aku mendongak menatap Mama. Kutemukan ketulusan ketulusan di sana. Aku tersenyum berharap Mama akan sedikit lebih tenang dan tak terlalu khawatir.

"Mama, terimakasih.... Syiren baik-baik saja" ucapku tersenyum berusaha menenangkan Mama. Ku rasakan tangan lembut Mama mengusap ujung kepalaku sayang.

"baiklah sebaiknya kau tidur dulu. Mama tak ingin melihatmu sakit" ucap Mama membantuku berbaring di ranjangku. Menarik selimut kemudian menyelimutiku dan mengecup keningku. Aku sungguh bersyukur mempunyai Mama yang selalu ada untukku. Terimakasih tuhan.

Malam ini, kurasakan hawa yang begitu dingin. Aku menggigil dan berusaha menarik selimut yang sudah turun ke kakiku. Aku meringkuk disana berharap rasa dingin ini bisa menghilang. Aku tak sanggup membuka mata. Aku ingat tadi Mama mematikan lampunya sebelum meninggalkan kamar. Hanya tinggal cahaya remang di meja sebelah ranjangku. Aku takut gelap.

Ray, kau kemana? Itu pertanyaan yang selalu terngiang di benakku. Apa salahku? Aku merindukanmu aku selalu saja merindukan orang itu. Orang yang sudah berhasil membuatku bangkit dan terpuruk begitu cepat. Orang yang begitu berarti dalam hidupku. Kemana dia? aku sangat merindukannya. Pergi tanpa kabar adalah hal yang sangat menyakitkan. Mana janjinya yang ingin selalu berada di sampingku. Kenapa dia pergi tanpa ada kabar sedikitpun.

Ku rasakan tangan sejuk menyentuh keningku. Tangan yang tak lagi asing. Mungkinkah itu Ray? Perlahan aku mencoba membuka mataku . Dalam sinar lampu yang remang, aku melihat bayangan seorang lelaki. Lelaki yang sangat aku rindukan. Tapi kenapa aku tak bisa membuka mataku sepenuhnya? Apa maksud ini semua? Apakah ini semua hanya mimpi? Tapi kenapa aku sadar?

Kurasakan tanganku di raih oleh lelaki itu. Lelaki yang ku yakini dialah Ray. Dia menggenggam tanganku. Aku ingin membalasnya. Tapi kenapa tubuh ini terasa kaku. Kenapa aku tak bisa berkutik sedikitpun? Kenapa tubuh ini diam?

Beberapa lama kemudian aku mendengar langkah yang semakin menjauh. Ku kepalkan tanganku mencari tangan yang tadi menggenggamku. Semuanya hilang. Hilang bersamaan langkah kaki yang semakin menjauh. Ingin rasanya aku memberontak memaki diri sendiri. Ingin aku menjerit pada orang itu. Orang yang ku yakini Ray.

"Raaaaay......" aku berusaha memanggilnya agar jangan pergi tapi tetap saja dia terus berjalan sampai kemudian dia hanya terlihat seperti titik terang yang semakin kecil lalu menghilang. Aku masih belum bisa merelakan kepergiannya. Aku tak bisa. "aku mohon jangan pergi...." airmata mulai menetes di pipiku, "aku mohon..." jantungku mulai lemah tak sanggup menahan semua derita ini "aku mohon....jangan pergi" kurasakan kuku jari-jariku melukai telapak tangaku.

"bangun sayang...." suara itu. "Mama mohon..." Suara Mama yang mulai menangis. Perlahan ku buka mata. Ku dapati Mama menangis di hadapanku. Menatapku penuh harap. Aku menatap sekeliling mencari sosok Ray. Tapi hasilnya nihil. Aku hanya melihat Mama bersama dokter Fabian di sampingnya. Ku rasakan Mama mengusap lembut keningku. "sayang..." dia mulai tersenyum senang. Aku menatap Mama penuh sayang. Semua ini salahku. Aku terlalu terhanyut dalam kenangan. "Sayang... kau tak apa-apa?" tanya Mama khawatir. Mama memelukku erat. Erat sekali.

Maafkan aku Ma... rintihku dalam hati. Kenapa mulut ini masih belum sanggup mengeluarkan suara. Mama menghapus sisa air mata di pipiku. Kembali aku merasa bersalah dengan semua ini. "ehm..." ku dengar suara dokter Fabian "sebaiknya saya pulang dulu" dokter Fabian melirik kearahku "Syiren.... cepat sembuh" ucap dokter Fabian tersenyum berusaha memberiku semangat. Aku hanya bisa menjawabnya dengan satu anggukan. Dokter Fabian kembali tersenyum kemudian pamit pulang pada Mama. Ku tatap Mama yang mengantarkan dokter Fabian keluar kamar.

Denganpenuh keyakinan, aku tak ingin melihat Mama sedih. Sudah cukup penderitaannya selama ini. Aku berusaha duduk memulihkan tenagaku. Ku tatap sekeliling kamarku. Dalam hati aku masih berharap Ray benar-benar ada disini. Tapi kemudian aku menyadari itu semua hanyalah mimpi. Benar kata dokter Fabian beberapa hari yang lalu. Jika aku tak bisa melepaskan kepergian Ray. Maka sama saja aku menetapkan pilihan untuk selalu membuat Mama khawatir. Mulai saat ini, detik ini juga aku akan melupakan nya. Aku tau itu sangan sulit. Tapi ini demi Mama. Demi Mama yang aku cintai. I Love You Mom...

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now