[1]

93 7 4
                                    

Paginya sama seperti pagi pagi yang t'lah berlalu. Terbangun dengan sapaan sinar mentari yang sayup-sayup mengintip lewat celah-celah gorden ruangan, diselingi gelitikan suara alarm jam yang meminta 'tuk dijamah. Tubuhnya masih enggan untuk berpaling dari posisi, menuntut untuk dimanjakan lebih lama lagi. Meski ia tahu, waktunya akan terbuang sia-sia jika hanya dihabiskan untuk sekedar bermalas-malasan dan berakhir dengan, ya... celotehan singkat ala-ala mama muda yang menginginkan putri semata wayangnya bersikap sesuai usia mengingat ia bukan lagi anak-anak yang harus dijemput dari tempat peristirahatan hanya untuk membuatnya beranjak dari ranjang.

Usapan pelan di rambutnya membuat Sang Gadis menggeliat pelan. Sentuhan jemari lelaki berusia duapuluhtahunan itu berhasil mengembalikan secuil perasaan yang telah lama hilang. Rindu, namanya. Rindu akan manjaan kecil dari sosok orang tua. Lebih tepatnya, mama. Meski sekarang, sepertinya Sang Gadis mulai merindukan Leon juga. Leon adalah pria tigapuluhtahunan yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri setelah Sang Mama karena sempat menjadi pengasuhnya setelah beliau tiada. Sayang, malaikat lebih dulu mengantarkannya pulang ke alam yang berbeda. Hari itu, pada peristiwa itu, bersama seorang teman.

Masih terlalu cepat bagi Sang Gadis untuk menghadapi agenda hari ini setelah rangkaian kejadian bulan lalu, seakan Tuhan sedang mengingatkan bahwa hanya Ia yang mampu membalikkan apapun dengan sekejap. Mulai dari kesenangan akibat keberhasilan suatu pencapaian, konflik perihal mimpi yang harus terealisasi di masa depan, hingga kepergian mendadak orang-orang yang terhubung langsung dengannya. Lalu, berakhir dengan perasaan bersalah pada diri sendiri. Sangat bohong jika lelaki itu percaya bahwa Sang Gadis terlalu kuat untuk melewatinya. Sebab, yang terlihat terkadang tidak sinkron dengan yang terpikir. Lagipula, manusia bisa apa? Mengeluh? Tidak ada gunanya pada zaman modernisasi seperti sekarang.

"Dia belum bangun?" sosok Rayvan memecah keheningan.
Ia bersender di pintu kamar, mengeringkan sisa tetesan air yang sempat membelai rambutnya. Membiarkan bagian atas tubuh atletisnya yang lembab efek rutinitas kebersihan badan beberapa saat lalu itu terekspos bagi siapapun yang melihat.

"Malas bangun, tepatnya," suara bariton lelaki itu merespon.

"Haruskah aku yang memberikan sentuhan selamat pagi untuk mengusir rasa malasnya?"

Godaan Rayvan ampuh membuat ia bersuara. "Ok, boys... I wake up," ujarnya mengalah. Kini posisinya telah berganti, bersandar di bibir ranjang.

"Mandi dan bersiaplah, Shee. Satu jam lagi kita akan menemui paman Luki sebelum meluncur ke lokasi," Sean, lelaki bersuara bariton tadi, mengelus-elus rambut gadis bernama Sheeila itu sebelum beranjak pergi.

*****

Sheeila POV

Well, disini lah aku sekarang. Diapit oleh dua Sean --yeah, anggap saja Rayvan adalah hasil kloning Sean yang berhasil membelah diri (sangking banyaknya kesamaan mereka)-- dan dihadapkan dengan seorang Luki Bramantya, pria separuh baya yang memperkenalkan dirinya seminggu lalu, ketika Sean membawaku paksa ke apartemen Rayvan untuk alasan keselamatan.

Luki menyesap perlahan minuman yang baru saja tersaji di depannya, merasakan aroma khas kopi yang menyeruak dari sana. "Bagaimana berkas yang tempo hari kutitipkan untukmu lewat Christian? Ada yang belum jelas?" Sepertinya pria itu bukan tipe yang senang bertele-tele.

Untungnya aku sempat membacanya kembali selama keberangkatan menuju tempat ini. Hitung-hitung, sebagai pengalihan aktivitas daripada harus bertahan menyimak ocehan duo Sean di sepanjang perjalanan yang entah, topiknya ke mana saja.

"Aku belum siap soal rencana cadangannya," ucapku jujur. Ya, ini terlalu beresiko jika dilihat dari data profil target.

Ku hela nafasku sebelum melanjutkan, "Ya, mmm... you know who's Elnathan. Bahkan, kalian tau lebih banyak daripada aku. Jadi..."

"Jadi?" Luki menekankan responnya seolah tak sabar mendengar keputusanku.

"Aku ingin kalian mempertimbangkan lagi soal rencananya. Lagipula, aku ingin memastikan sendiri apa benar semua itu skenario kakak."

*****

Entah, mereka yang terlalu cepat mengungkap semuanya atau aku yang terlalu lambat menyadari keseluruhan kasus yang terjadi di dalam keluargaku sendiri. Aku masih belum bisa menerima ini sepenuhnya. Sejauh itukah aku 'tak mengenal tabiat kakakku?

"Kau masih menyimpannya?" hembusan nafasnya di telingaku tampaknya sukses mengembalikan kesadaranku selama perjalanan. Tatapanku teralih ke arahnya, mengabaikan sejenak foto yang sedari tadi kupandangi di tengah lamunan.

"Sobek. Kalau perlu, bakar," pintanya datar. Raut kecewa terlihat di wajahnya. Sepertinya ia masih kesal soal keputusanku di cafe tadi. "Apa perlu kubantu?"

Aku mungkin baru mengenalnya beberapa hari terakhir. Tapi, menebak karakter seseorang sudah menjadi hobby tersendiri bagiku. Dan, ya, berdebat dengannya saat ini sama saja dengan membiarkan dirimu diceramahi dosen killer sepanjang waktu: takkan selesai sebelum kata-katanya dipenuhi.

"Kau tahu, Shee, akan jadi masalah jika kau terus menyimpannya," Sean mendukung Rayvan dari bangku kemudi. "Berikan itu padaku. Setidaknya, aku tidak seperti Rayvan yang tega merusak benda berhargamu."

Salahku, memang. Aku mengabaikan saran Sean untuk tidak membawa foto itu kemanapun ketika ia pertama kali menunjukkannya padaku, lagi-lagi dengan perihal keselamatan.

Kupandangi foto itu sekali lagi sebelum akhirnya menuruti perkataan Sean. Tampak seseorang yang, katanya, adalah kembaran kakak tengah memunculkan ekspresi wajah ceria bersama seorang lelaki sebayanya dengan ekspresi senada. Ekspresi yang jarang sekali terlihat dari seorang Elnathan Array seandainya ia tak memiliki saudara kembar. Jika saja aku dapat membawanya bersamaku, aku ingin memastikannya langsung kepadanya soal foto ini, batinku.

Namun, sepertinya tanpa foto itu pun, hari ini telah berpihak padaku...

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang