Lembar Pertama

734 91 3
                                    

"Kelahiranmu adalah sebuah dosa ..."

Sasuke tidak pernah mengerti arti dari kalimat yang selalu diucapkan ayahnya itu. Setiap kali ayahnya muncul, hanya kata-kata itu yang terlontar. Tanpa penjelasan, meninggalkan Sasuke begitu saja dengan tatapan dingin penuh kebencian yang sulit Sasuke lupakan.

Ayahnya membencinya. Itu fakta tidak terbantahkan. Ia bahkan mengasingkannya dari istana sejak ia memasuki usia dua belas tahun, mengirimnya ke desa terpencil di perbatasan Kekaisaran Ame.

Sasuke mengira kebencian ayahnya disebabkan karena ibunya yang meninggal ketika melahirkannya, menyalahkan Sasuke sebagai penyebab meninggalnya sang isteri tercinta. Sasuke tidak keberatan, sungguh, karena sesungguhnya ia pun merasa bersalah. Sebab karena dirinyalah Kekaisaran Ame kehilangan sosok permaisuri yang begitu mereka sayangi.

"Melamun lagi, Yang Mulia?"

Sasuke menoleh, mendapati Kurenai yang berdiri sembari membawa baki berisi teh hangat. Sasuke bersyukur setidaknya meskipun hidup dalam pengasingan ada Kurenai yang dengan senang hati menemaninya.

Wanita yang menginjak usia hampir setengah abad itu tak ubahnya seperti ibu kandungnya sendiri. Semenjak kecil, Kurenai lah yang selalu mengurusnya, menemaninya disaat seluruh penghuni istana mengabaikannya. Kurenai lah yang mengajarinya berbicara, berjalan, membaca dan menulis. Ia juga menjadi satu-satunya tempat Sasuke berkeluh kesah, yang selalu membelai lembut rambutnya tiap-tiap malam sembari menyanyikannya sebuah lagu.

Bagi Sasuke, Kurenai sudah menjadi hal terpenting dalam hidupnya.

"Tuh kan melamun lagi! Apasih yang kau lamunkan?" Sekali lagi Kurenai bertanya. Ia sekarang sudah duduk di samping Sasuke, dengan gelas teh yang menjadi pembatas mereka.

Sasuke tidak menjawab. Malah diam dan memperhatikan bulan purnama di langit. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dia tengah memikirkan Kurenai, Sasuke masih malu untuk menyampaikan afeksinya.

"Kenapa tidak dijawab? Ah, saya tahu, Yang Mulia tengah memikirkan seorang gadis jangan-jangan," tebak Kurenai tentu saja dengan maksud menggoda.

Sasuke menoleh dengan cepat. "Jangan asal bicara, Kurenai, aku tak memikirkan apapun. Aku cuma melihat bulan saja."

Bibir Kurenai tertarik ke atas. "Yang benar? Bukannya Anda menyukai gadis dari keluarga Haruno itu? Siapa namanya? Sakura?"

Pipi putih Sasuke memerah. "Jangan mengada-ada Kurenai," elaknya.

Kurenai tertawa. "Kata siapa saya mengada-ada? Saya cuma mengatakan dari apa yang saya lihat saja."

"Memangnya apa yang kau lihat?" Tantang Sasuke.

"Saya melihat Anda diam-diam memperhatikan Haruno-san tiap dia berkunjung kemari mengantar obat. Anda juga beberapa kali salah tingkah tiap kali bertegur sapa dengannya."

Wajah Sasuke saat ini benar-benar memerah. "Sudah, jangan dilanjutkan!"

Kurenai tertawa. Pangeran Kecilnya ternyata sudah bisa tersipu malu hanya karena seorang gadis. Waktu ternyata cepat berlalu.

"Kurenai-sama, saya datang membawakan obat!"

Kurenai memandang Sasuke dengan kilat jahil. "Nah, yang dibicarakan sudah datang. Apa Anda mau bertemu dengannya?"

Red Riding HoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang