01

32 2 0
                                    

Tek tek tek tek..

Terdengar jelas bunyi hentakan sepatu yang menyelimuti ruangan ini. Naskya merasakan kehadiran orang lain selain dirinya, matanya terlalu sulit untuk dibuka. Naskya merasakan gejolak yang begitu dahsyat saat ada seseorang yang menyentuh tangan kirinya. Entah gejolak apa yang tengah ia rasakan, yang pasti jantungnya berdegup lebih kencang tidak seperti biasanya.

Sentuhan itu terasa begitu hangat.

Tanpa sadar Naskya menarik pelan sudut bibirnya terbentuklah seutas senyuman. Masih dengan mata terpejam Naskya bisa mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan kehangatan.

Ingin sekali ia melihat seseorang yang berani membuat perasaan nya menjadi seperti ini, namun matanya masih setia terpejam merasakan mimpi yang begitu indah yang Tuhan berikan kepadanya.

"Tolong atur ulang semuanya"

Begitu Arfha memutuskan panggilan telepon di handphonenya.

Arfha Raff Pradista tengah duduk di ruangan yang mendominasi dengan warna putih, dan juga infus serta aroma mengenyat obat-obatan. Sudah 4 jam lamanya ia berada di rumah sakit ini mengingat kejadian yang tadi pagi tengah menimpanya.

Bukan petaka besar baginya jika demam atau flu ringan saja harus pergi ke rumah sakit untuk sekedar periksa. Tetapi ada petaka yang lebih hebat, tadi pagi ia tidak sengaja mengerem mendadak mobil Ferrari kesayangan. Bukan karena kecerobohan nya, melainkan karena ia melihat seorang wanita yang ia taksir berusia 20 tahunan tiba-tiba melintas begitu saja tanpa melihat kiri kanan bahu jalan.

Lelaki yang sedang mengemudikan mobilnya itu kaget dan terjadilah aksi ngepot dadakan. Bukannya tertabrak seperti biasanya jatuh ke jalanan dengan penuh darah. Wanita itu melihat arah mobil Arfha dengan mata begitu lembut berwarna cokelat bak orang luar negeri, mata itu bertemu dengan mata hitam pekat milik Arfha.

Saat tengah memikirkan hal tersebut secara spontan ia menyentuh tangan wanita yang tidak ia ketahui nama dan asal-usul nya. "Bangun.." lirihnya.

Seakan mempunyai ikatan diantara mereka berdua. Naskya bergerak dan mencoba membuka matanya secara perlahan, Arfha yang menyadari hal tersebut dengan sigap menekan tombol kecil;bell untuk memanggil dokter. Tanpa menunggu lama dokter datang bersama perawat nya mungkin karena pelanggan VVIP, servicenya lebih diutamakan.

Panik, itu yang tercetak jelas di wajah Arfha saat ini. Masih terdiam dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

Setelah yakin dokter sudah selesai memeriksa wanita yang terbaring lemah di kasur rumah sakit, "Bagaimana dok? Dia gak parah kan? Kanker gitu?" Cemasnya menyatukan kedua alisnya.

"Lo doain gue mampus?!" Pekik Naskya berteriak dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Arfha hanya melihatnya sekilas dengan malas dan kembali melihat sang dokter yang memiliki nama Dr.Riyan Suganda.

"Nona baik-baik saja, mungkin hanya syok ringan"

Begitu mendengar penjelasan yang keluar dari mulut sang dokter, Arfha kembali duduk setelah melihat punggung dokter tersebut menghilang.

Keheningan menyelimuti mereka saat ini. Ingin berbicara tapi apa yang harus dibicarakan? Bahkan kenal pun tidak.

Cukup lama mereka terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Sorry Bos.." tiba-tiba saja ada yang datang langsung menghampiri Arfha dengan benda pipih di tangan lelaki tersebut.

Arfha berdiri dan sedikit menjauh, "Gantiin saya sebentar," titahnya.

"Tapi.."

"Bantu gue sebagai temen gue?" Pinta Arfha begitu memohon.

Ouvar kalah telak. Ia tidak bisa melihat atasan sekaligus sahabatnya memohon dengan wajah seperti itu, karena hal itu jarang sekali bahkan hampir tidak pernah ia tunjukkan setelah beberapa tahun lamanya.

Arfha berjalan kembali menuju kursi yang berada di sebelah ranjang kecil rumah sakit ini.

"Gue gak papa sendiri, lo kalo ada kepentingan pribadi urus aja. Lagian lo gak salah dan kita gak saling kenal."

Naskya menundukkan kepalanya memandang kedua tangannya yang sedang bertautan. "Gue Arfha Raff Pradista" Sambil mengulurkan tangannya ke depan.

Nama itu tidak asing baginya. Siapa yang tidak mengenali nama keluarga Pradista. Keluarga yang kaya tujuh turunan dan memliki etitude yang benar-benar bisa dikatakan etitude yang sesungguhnya. Tapi yang Naskya tidak ketahui sampai saat ini bahwa yang berdiri di depannya sambil tangannya terulur di depannya memiliki nama belakang Pradista. Jujur, Naskya tidak pernah melihat siapa-siapa saja yang memiliki nama belakang 'Pradista'.

"Gue bukan tipikal orang yang angkuh apalagi dingin, jadi," lanjut Arfha melirik tangannya yang sudah merasa sengal.

Naskya dengan cepat memahami maksud lelkai tersebut, "Naskya Getta" jawabnya menerima jabat tangan Arfha.

"Sekarang kita udah kenal, jadi gak ada larangan gue gak boleh nungguin lo disini karena kita gak saling kenal. Kelar kan?"

Naskya mengerutkan dahinya, "Lo banyak bicara ya.."

Arfha melipat kedua tangannya di depan dadanya dan menyilangkan kakinya.

Naskya merasa mulai jengah dengan situasi seperti ini, lebih baik ketahuan kedapatan kunci jawaban saat ujian nasional dari pada harus berdiam seperti ini. Bukan dirinya.

"Lo mau ngapain?" Tanya Arfha saat melihat Naskya mulai bangkit.

"Bahkan ke toilet juga harus ditemenin? Gue gak kabur!" Ucapnya pergi menuju toilet yang tak jauh dari tempat tidurnya.

Tercetak di wajahnya secarik senyuman kecil disana. Manis dan sedikit cerewet. Saat ia tengah berpikiran aneh diluar batasnya, Arfha melirik nakas sebelahnya. Mawar merah. Lagi lagi ia harus menemukan mawar merah, bunga itu ada saat kejadian negopot dadakan nya tadi. Naskya menggenggam bunga itu di tangannya. Lenyap sudah senyuman manis yang jarang ia perlihatkan.

Bersambung
Feb'25

ArfhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang