4. Bukan 7 Kurcaci

17 1 0
                                    

Namaku selalu terngiang dalam panggilan yang nyaris tak dirindukan, kecuali untuk bulan ramadhan. Panggilan untuk menghadap penciptanya. Panggilan itu disebut adzan dan namaku tertuang dalam kalimat
Hayya alal falah, marilah kita menuju kemenangan. Ya namaku adalah Falah dan aku bahagia menyandang nama tersebut.

Aku anak kedua dari 5 bersaudara. Mereka kerap kali menyebut keluarga kami 7 kurcaci. Bukan hanya karna anggota keluarga kami yang berjumlah 7 orang, juga karna kami tinggal di gubuk reot yang telah lapuk, tidak seperti mereka. Rumahku istanaku hanya pantas diucapkan oleh mereka. Tapi kalian tak perlu khawatir meski mereka memanggil kami 7 kurcaci tapi kami bertubuh tinggi, kuat, sehat dan tangkas.

Ayahku seorang penyadap nira, nira direbus untuk dijadikan gula merah. Gula merah buatan ayahku sangat enak, apakah kalian mau mencobanya ?

Ibuku seorang guru mengaji di surau, beliau adalah seorang guru yang baik, ramah dan dicintai murid muridnya.

Bagi kami menjalani kehidupan yang sederhana adalah bagian dari takdir yang harus kami jalani.

"Assalamualaikum" ku ucap salam dengan penuh semangat setelah seharian belajar di sekolah aku dan Fakih sampai di rumah. Adikku memarkirkan sepeda yang kami naiki di samping rumah. Entah mengapa firasatku mengatakan ada yang aneh, suasananya terasa berbeda sekali.

"Ayah ibu kalian dimana ?" ujarku

Kulangkahkan kaki memasuki rumah. Terlihat Ana dan Ani tengah asyik menonton serial kartun kesayangan mereka Upin Ipin. Sangking sukanya mereka sampai fasih berbahasa melayu. Aku pun terpaksa harus berbahasa melayu saat berbicara dengan mereka.

"Ana Ani mana mak ?" Tanyaku dengan bahasa melayu.

"Tengah sembahyang dzuhur abang" jawab mereka.

"Aduh laparnye" ujar Ana .

"Aku pun" sambung Ani.

"Kejap abang buatkan mi rebus, abang ganti baju dulu ye." kataku berusaha menenangkan mereka.

"Iyelah" sahut mereka berdua.

"Mana abah ?" tanyaku lagi.

"Tengah menoreh nira lah, sore nanti baru balik." jawab Fakih

Aku pun pergi ke kamarku untuk mengganti pakaian. Setelah selesai aku pergi ke dapur untuk memasak mi rebus. Kami telah terbiasa memasak mi dengan kuah yang melimpah. Sudah tak asing lagi apabila setiap hari kami tidak makan enak. Bisa makan 3 kali sehari saja sudah cukup untuk kami walaupun hanya dengan kecap dan garam. Tapi aku suka sekali dengan kecap rasa manisnya membuatku menikmati setiap butir nasi yang masuk kedalam mulutku. Paling beruntung kalau ayah pulang membawa mi instan, untuk saat itu kami bisa makan enak, yaaah... walaupun kakakku seringkali marah dan memaki.

"Masa mi sebungkus airnya sebaskom apa apan ini" ujar kakaku sambil mencibir. Bibirnya yang manyun membuat ibuku sedih.

Tak terasa air mataku mengalir, aku tersadar segera ku hapus air mataku.

"Jangan menangis nanti mi nya malah keasinan !" ujarku menghibur diri sendiri.

"Kak sudah matang mi nya ? aku gelar tikarnya ya" ujar Fakih bersemangat.

"Sudah, tunggu sebentar aku akan panggilkan ibu" jawabku.

"Bu, ayo kita makan, mi nya sudah matang." ujarku sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban aku coba buka perlahan pintu kamarnya, terlihat ibu tengah bersujud di atas sajadah. Aku terdiam, mana mungkin aku tega mengganggu saat yang berharga itu, saat dimana jiwa tengah mengadu pada tuanNya. Aku menutup kembali pintunya. Aku pun diam mematung di ambang pintu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pangeran angin mencari angka 7Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang