Jeriko itu ramah ke semua orang. Dia bergaul dengan siapa saja. Even, cewek-cewek genit pun dia jabanin. Maksudnya, Jeriko memang seramah itu. Tak pandang bulu untuk berteman dengan siapa saja.
Tak heran jika banyak yang baper. Jeriko tak salah sih, lagipula hanya bersikap ramah. Tapi ia tak berfikir sampai sejauh itu. Contohnya Jean.
Jean jatuh semakin dalam dengan Jeriko. Itu bukan salah Jean. Salah Jeriko sendiri. Ia lah yang mempersilahkan Jean untuk masuk ke dalam hidupnya. Jeriko tak menolak, malah semakin menampakkan sisi lain dirinya.
Cowok dengan bibir tipis dan mata bulat itu menatap ke luar jendela kafe. Menatap rintikan hujan yang jatuh membasahi kota.
Jeriko berada di titik yang benar-benar membuatnya frustasi dengan masalah 'perasaan'. Ia semakin frustasi sesaat gadis berambut hitam kecoklatan itu kini duduk di hadapannya. Melontarkan senyum paling manis yang pernah Jeriko dapatkan di hidupnya, selain dari sang Ibunda.
Bahkan, ehm.. Raya saja tak pernah senyum semanis itu padanya.
Raya tak pernah menampakkan sisi lembutnya. Raya tak pernah mendengarkan semua nasihat Jeriko. Raya tak pernah menatap lekat mata hazel Jeriko. Raya sama sekali tak pernah meliriknya.
Tapi entah kenapa, hati bodohnya itu lebih memilih untuk mengukir nama gadis itu. Raya Alisha.
"Kak?"
Jeriko mengerjap. Kini kembali fokus dengan sekitarnya. "Hm?" responnya sembari menatap mata kecoklatan milik Jean.
Gadis itu tersenyum lembut sambil menggelengkan kepala.
Jean tau, ia dan Jeriko memang dekat dalam jarak. Tapi tidak dalam artian perasaan, keduanya sangatlah berjauhan.
Jean jauh di belakang —mengejar Jeriko di depannya. Sedangkan Jeriko, mengejar Raya yang sangat sulit Jeriko gapai di ujung sana.
Jean ingin egois untuk kali ini saja.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Gadis dengan rambut sebahu yang diikat asal-asalan itu berjalan mengendap-endap —membuka pintu rumah dengan bola basket yang ada di tangannya
Rambutnya sudah acak-acakan tak karuan. Badannya bau keringat dan wajahnya sudah kotor penuh debu sehabis berguling-guling di lapangan basket komplek.
Siapa lagi jika bukan Raya Alisha?
Cewek itu dengan cueknya pulang malam sehabis main basket dengan teman-teman satu kompleknya.
Sampai sang Bunda kini berdiri di hadapannya. Melipat tangan di depan dada dengan wajah galaknya.
Raya menyengir tak tau malu. Gadis bermata sipit itu dengan segera berlari menuju kamarnya di lantai dua sebelum Bunda akan mengomelinya habis-habisan.
Raya dengan segera menutup pintu kamar. Menaruh bola basketnya di depan pintu seraya mengganjalnya. Gadis itu kini menghempaskan tubuh ke kasur yang dipasang sprei hitam polos.
Kamar Raya jauh dari kata girly. Buktinya, sprei hitam, poster-poster klub sepak bola, banyak miniatur One Piece di meja belajarnya dan yang lebih aneh lagi kamar raya sangat minim cahaya.
Raya lebih suka dengan keadaan kamar yang gelap. Sehingga tiap malam, gadis itu akan membuka lebar-lebar pintu balkon kamar —membiarkan cahaya bulan masuk ke dalam kamarnya. Lalu gadis itu terdiam di ujung kasur —sembari menatap bulan yang bersinar terang benderang di atas sana. Tanpa sadar, Raya akan tertidur dengan sendirinya. Dengan posisi telungkup dan tangan yang menopang dagu.
Tapi beda lagi jika langit malam menumpahkan tangisnya. Raya akan menutup pintu balkon rapat-rapat. Membungkus diri di dalam selimut tebalnya —lalu menonton film sepanjang malam.
Raya tersenyum tipis sesaat matanya mendapati sosok dari balik pintu kaca balkonnya itu.
Ia beranjak dari kasur. Membuka pintu balkon. Lalu melempari kerikil-kerikil yang ada di pot bunga teras balkonnya —ke balkon tetangga sebelah.
Sosok itu kini mengangkat wajah. Sesaat kerikil-kerikil yang Raya lempar mengenai pintu kaca balkon kamarnya. Ia menaruh gitar di atas kasur yang sedari tadi ada di pangkuannya.
Pemuda itu membuka pintu balkon kamarnya. Tertawa pelan menatap gadis yang tengah bertumpu dagu di hadapannya ini.
"Mau ngomong apaan lo?" tanya Raya.
"Gue kesitu ya?" Jeriko balik bertanya. Raya mengangguk mengiyakan. Lalu Jeriko segera mengangkat kakinya. Mengambil langkah tinggi-tinggi menuju balkon Raya.
Saking dekatnya. Bahkan Jeriko tak perlu membuang tenaga untuk melompat menuju balkon tetangganya itu.
"Okay, sekarang apa?" tanya Raya lagi masih menopang dagu, menatap ke arah langit yang penuh dengan kerlipan bintang di atas sana.
Jeriko melirik Raya sekilas. Pemuda bermata bulat itu kini ikut menopang dagu di sebelah Raya.
"Gue punya temen. Dia orangnya brengsek, sok ganteng, yang lebih nyebelin lagi, dia gak berani ngungkapin perasaannya ke orang yang dia suka."
Raya memalingkan wajah. Kini menatap lurus ke arah Jeriko. Begitupun sebaliknya.
"Temen? Biasanya kalo nyeritain temen, itu berarti cerita tentang dia sendiri." jawab Raya. Jeriko menyengir, ketauan sudah kedoknya.
"Jadi itu lo kan?"
Jeriko mengangguk. memalingkan wajah dari Raya. lalu mendongak menatap langit. "Temen gue bingung banget, harus perjuangin yang lama atau pindah aja ke orang yang lebih sayang sama dia."
Raya berdecih. "Apaan sih bahasnya? Gue mana ngerti beginian, Jer."
Jeriko tertawa pelan. "Menurut lo temen gue harus gimana?"
Raya bergumam sembari menaruh telunjuk di dagu. "Menurut gue sih, temen lo coba confess dulu ke orang yang dia suka. Lagian si mba gebetan ini juga gak bakalan tau kalo temen lo suka sama dia. Ya, gimana si mba gebetan mau ngebales perasaan temen lo." jawab Raya.
Jeriko mengulum bibir ke dalam. Menatap Raya di sebelahnya dengan ragu-ragu.
"Harusnya ya, lo tuh confess dulu ke dia—"
"Gue suka sama lo."
"Huh—"
Raya tersedak ludahnya sendiri. Apa-apaan? Raya tak salah dengar kan? Gadis itu kini menatap lurus ke arah Jeriko yang kini terdiam —memasang wajah datar. Sama sekali tak ada raut menyesal di wajahnya.
"Tapi bohong, hehe." lanjutnya lagi sambil menyengir lucu.
Raya langsung bernapas lega. "Apa banget sih lo, Jer! Jangan sampe ya!"
Dan Jeriko hanya dapat tertawa kecil membalasnya.
"Gue masuk dulu, ah. Mau mandi. Lo balik gih." Raya segera menutup pintu balkonnya. Sebelum gadis itu benar-benar menutup pintu balkon —ia menongolkan kepala. Tersenyum manis sembari melambaikan tangan pada Jeriko yang kini sudah beranjak menuju balkon kamarnya sendiri.
"Memang ya Ray, saran lo tuh gak pernah bener." gumam Jeriko disertai senyum tipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vacillate
FanfictionKarena pada akhirnya, kalimat itu tetap menjadi kalimat yang tak pernah terucapkan.