Wars ~ 1

188K 5.2K 165
                                    


Mempunyai keluarga besar memang menyenangkan. Tapi bagiku, memiliki keluarga besar juga berarti bersiap menerima masalah yang semakin besar pula.

Berkat keluarga besarku, di usia 22 tahun aku sudah lulus S2 dan memiliki pekerjaan dengan posisi yang penting di bagian keuangan sebuah perusahaan otomotif yang terkenal. Coba bayangkan, di usia yang kurang dari 4 tahun, aku sudah masuk TK. Setelahnya, aku masuk SD, lalu SMP. Aku masuk kelas akselarasi hingga masa SMP kutempuh hanya selama 2 tahun.

Saat SMA, aku menolak akselarasi. Harapannya, agar aku bisa menjalani masa remaja layaknya gadis lain. Setelah lulus, aku memilih melanjutkan kuliah ke Jerman. Aku lulus dalam waktu 3 tahun dan mendapat gelar cumlaude. S2 satu tahun.

Masa kuliah, kuhabiskan hariku dengan belajar, belajar, dan belajar. Targetku hanya satu, mendapatkan nilai sebaik mungkin. Dan tahukah kamu, apa yang paling buruk dari itu semua? Pacaran? Aku belum pernah!

***

Ting, ting, ting....

Terdengar suara gelas yang sengaja dipukul dengan sendok, tanda makan malam akan segera dimulai. Berhentilah beraktifitas. Konsentrasilah hanya pada makan malam yang diadakan sebulan sekali ini. Tujuannya adalah menjaga keeratan keluarga Damarsandi.

Seluruh keluarga wajib hadir tanpa alasan apa pun. Kecuali kau sedang sekarat, kemungkinan kau dibolehkan tidak hadir. Itu pun cuma kemungkinan. Kedengarannya kejam bukan?

Nah, sambil menyantap makan malam, aku akan sedikit bercerita. Di ruang makan super besar ini, kau akan mendapati Papa, Mama, Om, Tante, sepupu, dan keponakanku berkumpul di satu meja yang juga ekstra besar karena bisa ditempati kurang lebih dua puluh kepala.

Oh, aku lupa memberi tahu bahwa ini adalah keluarga besar dari pihak ayahku. Dan pemimpin tertinggi keluarga ini adalah kakekku. Mungkin kami lebih cocok disebut sebagai klan daripada keluarga karena memang begitulah yang terjadi di dalam keluarga kami.

Papaku adalah anak pertama, calon pewaris kekayaan keluarganya. Tetapi, itu akan terjadi jika kakekku sudah wafat nanti. Papa punya tiga adik, semuanya lelaki. Namun, di antara keempatnya, Papa yang paling terakhir menikah. Itulah alasannya kenapa aku paling muda di antara cucu-cucu kakekku.

Jangan tanyakan tentang nenekku karena dia sudah meninggal saat melahirkan Om Rafa, si bungsu. Setelah Papa, ada Om Riga, Om Ronald, dan terakhir Om Rafa. Aku tidak akan menyebutkan satu persatu nama sepupuku karena akan sangat panjang. Tapi yang pasti, hanya ada dua cucu perempuan yang dimiliki oleh kakekku. Aku, Celovia Andien Damarsandi dan Alona Zilvany Damarsandi.

Alona Zilvany Damarsandi sepupu perempuanku satu-satunya. Dia adalah anak Om Riga dan Tante Veronikha. Usianya 23 tahun. Lebih tua satu tahun dariku. Awalnya, hubungan kami layaknya saudara yang lain, teman bermain sejak kecil. Akan tetapi, sejak aku datang ke kelasnya waktu kami kelas 3 SMP, sikapnya mulai berubah. Aku merasa dia menanggapku sebagai rival. Mungkin dia kesal karena aku yang harusnya jadi adik kelasnya, malah menjadi teman satu angkatan.

Sejak kecil, kami memang suka bersaing untuk menarik perhatian Kakek kami, tapi rasanya itu wajar karena dulu kami masih anak-anak. Aku tidak tahu apa masalahnya sampai-sampai dia menganggapku sebagai saingan. Namun karena dia menganggapku begitu, akupun akhirnya dengan senang hati bersaing dengannya.

Lulus SMA, aku kabur ke Jerman karena mulai jengah dengan sikapnya yang berlebihan itu. Bahkan, ketika aku memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga, dia pun ikut-ikutan tidak ingin bekerja di perusahaan keluarga. Meskipun keputusannya itu akhirnya ditolak mentah-mentah oleh ayahnya. Di situ aku merasa sangat beruntung karena papaku selalu demokratis. Namun, ketika dia punya tunangan, semakin gencar pula serangannya untuk menjatuhkanku. Aku harus mengakui aku kalah jika urusan percintaan.

Makan malam telah selesai. Akan tetapi, sesuai tradisi, kami harus tetap berada di meja makan karena akan ada perbincangan seusai makan. Seringkali aku merasa perbincangan ini dijadikan ajang untuk pamer dan menarik perhatian Kakek.

"Andra menjadi lulusan terbaik saat wisuda magister kemarin, lho."

Itu suara Tante Bella, istri Om Ronald. Andra itu anaknya yang paling bungsu. Mereka punya tiga anak lelaki, Indra, Andro, dan Andra. Andro dan Andra kembar identik.

"Wah, selamat ya Andra. Oiya, Hendra juga kemarin menang tender, lho."

Sekarang, giliran Tante Anggi yang tampaknya tidak mau kalah. Tante Anggi itu istri Om Rafa. Anak mereka ada dua. Hendra dan Agas.

"Andien juga dipilih jadi pegawai terdisiplin, lho."

Aku berharap itu bukan suara mamaku, tetapi sayangnya itu memang dia. Apanya yang pegawai terdisiplin? Mamaku hanya mengarang saja. Beliau memang paling tidak bisa melihat ada pembicaraan soal bangga-membanggakan. Hanya Tante Indri, Mama Alona saja yang tidak pernah ikut dalam perbincangan tidak penting seperti ini.

"Sudahlah, hentikan omong-kosong kalian. Andien, bagaimana pekerjaanmu?" Ruangan langsung terasa senyap begitu kakekku angkat suara. Kewibawaannya tidak terkalahkan.

"Baik-baik aja kok, Kek," jawabku singkat.

"Alona, kapan Iqbal akan menikahimu?"

"Segera, Kek." Alona melirik ke arahku. Tatapannya mengejek. Sudah kubilang bukan jika aku kalah darinya dalam urusan percintaan.

"Andien, Alona. Kalian cucu-cucu perempuan yang Kakek sangat sayangi. Kakek tahu selama ini hubungan kalian tidak baik." Aku dan Alona menunduk bersamaan. "Akan tetapi, kalian berdua bersaudara. Buatlah hubungan kalian jadi lebih baik."

Kakek menarik nafas, lalu menatapku. "Andien, usia kamu sudah 22 tahun bukan? Kakek rasa kamu sudah cukup dewasa. Pekerjaan sudah mapan, lalu kapan pendampingmu akan dibawa kemari?"

Nah, kan. Jadi ini soal kapan aku menikah?

Aku tidak akan menjawab pertanyaan Kakek karena apa yang harus kujawab?

"Kakek punya penawaran menarik untuk kamu."

Kepalaku langsung tegak. Penawaran menarik?

"Kakek akan memberikan 35% saham yang Kakek miliki kalau kamu bisa menikah dalam waktu dekat ini. Bagaimana?"

"Tapi, Kek, itu nggak adil." Alona protes.

"Alona benar, Kek. Masa, cuma Andien yang dapat 35% saham itu? Lalu, kami cucu laki-laki bagaimana?" Mas Indra juga ikut protes.

"Dengar, kalian para cucu laki-laki sudah dapat masing-masing satu perusahaan, apa masih kurang? Sedangkan cucu perempuan hanya dapat bagian dari ayah mereka. Nah, Alona, kamu ingin Kakek bersikap adil bukan?" tanya Kakek yang langsung diangguki dengan semangat oleh Alona.

"Alona, Andien, Kalau kalian berdua bisa menikah dalam waktu dekat, maka salah satu dari kalian akan mendapatkan 35% saham tersebut. Adil bukan?"

Nah, sekarang aku yang merasa tidak adil. Alona, sih, enak sudah punya tunangan. Lah, aku? Pacar saja tidak punya.

Alona malah terlihat gembira. Terang saja, dia punya kesempatan besar untuk memenangkan pertarungan ini. Namun, kalah bukanlah hal yang aku inginkan. Aku tidak memilih untuk kalah jika menyangkut 35% saham Kakek. 35% saham Kakek artinya mendadak kaya raya. Dengan 35% itu, aku tidak perlu kerja susah-susah lagi. Masalahnya, siapa yang akan kunikahi?

"Nah, Andien, jika kamu tidak mau dikalahkan oleh Alona, maka berusahalah."

"Tentu saja, Kek," sahutku sok tegar. Padahal, diam-diam aku menangis darah.

Menikah? Usiaku baru 22 tahun. Tidak pernah pacaran. Tiba-tiba ditantang untuk menikah. Siapa yang akan kunikahi? Tuhan, berikan aku satu lelaki saja. Please....

Bride WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang