Aku ingin mati dan membunuh Tuhan. Aku sangat membenci-Nya. Tak pernah dalam hidupku, aku membenci hingga akut seperti ini. Aku mau mati dan memporak-porandakan surga. Aku akan mencaci maki para malaikat dan membakar buku kehidupan yang menyebalkan itu, buku sumber keresahan trilyunan jiwa. Lalu, aku akan menyampaikan betapa keparatnya Tuhan yang menciptakan dunia penuh sengsara. Yang lebih menyesakkan, orang-orang beragama sinting itu mengatakan Dia turut menderita!
Oh ya?
Kurasa hidup dua ribu tahun lalu tidak terlalu menyiksa seperti saat ini. Allah yang menjelma menjadi manusia itu masih lebih beruntung lahir di kandang daripada anak manusia yang lahir di trotoar Jakarta di malam sepi. Anak Manusia itu dibesarkan penuh kasih sayang dari orangtuanya, Yusuf dan Maria. Masih lebih beruntung dari anak-anak manusia yang lahir tanpa ayah, anak yang tumbuh melihat orangtuanya saling bertengkar lalu bercerai, atau anak yang nasibnya terbuang di tempat sampah begitu dilahirkan karena eksistensinya tidak diharapkan siapapun. Dia juga tumbuh sehat, tidak perlu khawatir lahir dengan diagnosa seribu satu macam penyakit—HIV/AIDS, kanker, gagal jantung—yang diwariskan orangtuanya. Kehidupan-Nya sempurna, tidak seperti anak yang lahir hanya untuk merasakan busung lapar seumur hidupnya, meski ia tidak mengharapkannya.
Hidup-Nya yang bahagia itu tidak layak disandingkan dengan kehidupan saat ini. Justru aku meyakini kecurigaanku, Yesus lahir dua ribu tahun lalu karena Ia tidak ingin merasakan sengsaranya kehidupan, seandainya Ia lahir saat ini. Ia lahir saat itu justru karena Ia menghindar! Aku yakin Allah juga tidak mau lahir di zaman yang menyedihkan ini. Dia tahu dan Dia menghindar! Hah, licik!
Ini adalah kisah yang tidak diceritakan di bawah terik matahari. Ketika hari terik, semua makhluk sibuk beraktivitas. Mereka bekerja, mencari makan, membanting tulang, menyikut satu sama lain; mereka produktif. Tidak terjadi apa-apa di bawah terik matahari, selain kesibukan. Kisah ini tidak memiliki tempat di bawah jam terbang produktivitas. Ia selalu terselip di antara usaha-usaha untuk menyibukkan diri. Ia juga ada di antara jam-jam makan siang tanpa teman. Kisah seperti ini tersembunyi, menjadi rahasia gelap dalam banyak keluarga. Kisah ini tidak untuk diceritakan dengan suara lantang. Kisah ini untuk dibisikkan, atau mungkin untuk dikubur sejauh mungkin—untuk dianggap tidak ada.
Aku merasa aku diciptakan hanya untuk mati. Mungkin aku bukan orang pertama yang memikirkan bahwa seseorang lahir hanya untuk mati. Kematian menyatukan segala makhluk. Tidak ada makhluk yang tidak mati, kan? Yang menggangguku adalah kenyataan seseorang harus melewati kehidupan, yang belum tentu mudah, belum tentu bahagia, belum tentu hidup, dan jutaan kemungkinan ketidakpastian lainnya, hanya untuk mati. Why life must be this miserable?
Hanya ada satu pihak yang pantas disalahkan atas kutuk kehidupan yang menimpa segala makhluk ini. Dia yang menyebabkan segala sesuatu ini harus terjadi, meski sebenarnya kutuk itu tidak mesti ada. Ia menyebabkannya ada! Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Dia menciptakan milyaran makhluk hanya untuk mengalami sengsara? Orang-orang beragama yang tolol itu masih memanggilnya penuh kasih dan cinta. Dasar tolol! Dungu! Pantas saja Ludwig Feuerbach menyebut Tuhan tak lebih dari proyeksi keinginan manusia. Pantas saja Karen Armstrong menyebut bahwa pada mulanya manusialah yang menciptakan Tuhan. Atau Sigmund Freud yang menyebut agama itu ilusi. Haha. Orang-orang religius yang naif. Pergi sana ke surga! Hiduplah selama-lamanya!
Tuhan tak pantas dipanggil sumber kasih, sumber kebaikan, sumber sukacita, atau sumber-sumber naif lainnya. Tuhan yang menyebabkan sengsara, maka dari itu, panggillah Dia dengan nama sumber sengsara, sumber derita, sumber penyakit, sumber kegelapan, sumber isak tangis, sumber kehancuran, sumber kebencian, sumber kenaifan, sumber ketololan, sumber kebengisan, sumber kekejaman, sumber kejahatan, sumber kematian, dan sumber-sumber logis lainnya.
YOU ARE READING
Terperangkap
SpiritualMengapa aku harus ada? Padahal aku tidak meminta diciptakan. Salahkah aku bila aku meminta ditiadakan? Salahkah aku bila aku meniadakan diriku sendiri?