Ada kalanya manusia membutuhkan waktu untuk sendiri. Sendiri berarti satu yang terpisah dan tidak ada ocehan orang lain untuk memerintah. Hanya ada diri kita yang dikelilingi benda tak bernyawa. Bukannya egois tetapi, sendiri ialah waktu yang tepat untuk memulihkan suatu keadaan yang telah ruai oleh kekesalan, kekecewaan dan keputus asaan yang menyatu membentuk batu hantam.
Kelabu hadir tak diundang. Kekecewaan masih saja memuncak hingga detik ini. Keadaanku kini dalam balutan selimut tebal di sebuah ruangan gelap bersuhu rendah dengan gorden tertutup rapat bahkan sinar mentari tak dapat meneruskan cahayanya. Berpusat pada satu titik yaitu bayangan. Jengkel rasanya ketika bayangan itu selalu hadir tanpa diundang. Heran bukan, kenapa selalu saja dia. "Cih!" celoteh batinku. Rasanya kali ini otak sedang tidak berjalan normal seperti biasanya. Bisa dibilang kehilangan arah, tapi tak juga ingin terus bergantung.
Sudah dua hari alur kehidupan ruai. Lagi-lagi batin terus berkutip. Ada niat untuk berubah, tapi sama sekali tidak dilakukan. Entah raga yang lemah atau bahkan hati yang belum siap menerima. Sungguh membosankan. Seandainya dulu perasaan yang pernah ada tak sekukuh ini, mungkin aku tidak akan banyak membuang uangku begitu saja. That's right, waktu adalah uang. Sudah cukup uangku lenyap hanya karena buaian tak berguna.
Satu minggu berlalu begitu saja. Akhirnya lepas juga dari jeratan kelabu yang sampai saat ini masih menjadi pertanyaan mengapa hal-hal omong kosong yang tak berguna itu terus saja dipikirkan. Heran bukan, membiarkan uang mengalir tak tahu arah begitu saja. Jika diingat lagi, kali ini malah jijik sama diri sendiri, kenapa harus bersikap seperti itu kemarin.
Olivia Karina Sakura, itulah nama lengkap pemberian orang tuaku. Di sekolah, aku biasa dipanggil oliv. Tapi ada aja temen yang manggil dengan sebutan 'tun', kenapa? Ya taulah artinya olive itu apa. Aku tinggal bersama kakak laki-laki ku 'Joane' yang kupanggil dengan sebutan 'abang' dan tentu saja kedua orang tuaku. Di rumah, keadaan selalu hening apalagi kalau hari kerja, selepas dari kesibukan, kami langsung masuk ke kamar masing-masing. Lain halnya ketika waktu menunjukan untuk sarapan atau makan malam, barulah keadaan seketika ramai. Entah kakak laki-laki ku yang selalu meledek, atau aku yang cerita panjang lebar ke orangtuaku. Selebihnya hening sampai-sampai suara detik jam berdentang terdengar. Bertambah hening lagi ketika orangtuaku keluar kota untuk kewajiban pekerjaannya.
Hari silih berganti. Satu bulan telah melambaikan perpisahan-berlalu. Inilah yang kutunggu sejak aku dinyatakan lulus sekolah tingkat menengah pertama. Saatnya aku naik ke jenjang menengah atas, dimana kata orang adalah masa masa paling indah di sekolah. Kehidupan baru akan segera dimulai. Teman-teman baru akan hadir dengan sendirinya. Suara candaan, tawa bahkan tangis akan berubah. Semua seakan-akan mulai dari nol, yaitu perkenalan. Tentang yang terjadi sebelumnya, entahlah aku sudah tidak ingat.
...
Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Setelah mandi, aku bergegas menuruni anak tangga untuk segera sarapan. Tak disangka Joane sudah duluan sampai di ruang makan. Anehnya lagi, padahal masuk sekolah masih esok lusa, tetapi Joane sudah lengkap berseragam ditambah dengan jas almamater yang menambah sempurna penampilannya.
"Lah Bang, hari ini sudah masuk?" Tanyaku penasaran.
"Kok kamu malah nanya, harusnya kamu tau kan sekarang ada Pra-MPLS untuk siswa baru. Trus kenapa belum siap-siap juga?" Jawabnya heran.
"Hah, emang iya? Tanggal berapa si sekarang?" Tanyaku sambil melihat lock screen handphone. "Lah iya! Hari ini, demi apasi gue sampe lupa. Gue bareng ya, tungguin!" Kataku lagi dan langsung berlari menaiki anak tangga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Compliqué
Teen FictionKetika yang diharapkan telah bungkam lalu tenggelam. Angan yang sempat terlupakan tiba mengobati ruaian cerita. Seketika warna kehidupan tak lagi kelabu. Namun, angan hanyalah sebatas ilusi yang tak sesuai dengan ekspetasi di alam fana. "Oliv...