Solitude

30 6 8
                                    

Aku pernah bertanya pada diriku sendiri saat tinggiku tak melebihi 120 cm, apa yang lebih menyakitkan daripada dikhianati dan ditinggalkan ? Namun aku belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaanku saat itu. Yang aku tau tidak ada yang lebih sakit daripada dikhianati dan ditinggalkan saat aku melihat ibuku sendiri mengalami hal itu. Aku belum bisa mengerti dengan baik apa yang telah terjadi padanya dan pada ayah saat itu. Yang aku tau, ibu menangis dan ayah pergi bersama seorang wanita angkuh kemudian tidak pernah kembali lagi. Saat itulah aku menyimpulkan tidak ada yang lebih sakit daripada dikhianati dan ditinggalkan. Namun sekarang aku mengerti dan aku tau benar, apa yang lebih sakit daripada hal itu ? Jawabannya, mencintai seseorang tanpa bisa memilikinya. Percayalah. Itu lebih sakit daripada apa pun.

***

Tap tap tap tap. Aku mengayunkan kedua kakiku secara bergantian mencoba untuk mempercepat langkahku setelah beberapa detik kemudian langit memuntahkan segala tangisnya pada sore ini. Aku tak lagi peduli dengan tanah merah yang mengotori ujung celana jeans hitamku yang aku inginkan saat ini adalah sesegera mungkin menjauh dari beberapa gundukan tanah yang sedari tadi aku lewati. Pakaian dan rambutku mulai basah karena aku tak kunjung menemukan tempat untuk berteduh. Aku berdecak sedikit kesal kemudian melambatkan langkah kakiku pasrah dengan guyuran air yang seakan tumpah dan berniat memaksaku untuk bermain air. Aku sedikit melonjak saat tiba-tiba sambaran petir memekakkan telingaku, aku terkejut bukan main selang beberapa detik setelahnya cahaya petir menyilaukan penglihatanku.

Aku tak mengerti tiba-tiba saja aku jatuh terduduk di atas tanah basah berwarna kemerahan ini. Aku merasakan kedua kakiku lemas dan tak bisa ku paksakan untuk berjalan lagi. Aku menunduk mengais tanah basah kemudian aku menengadah ke atas langit membiarkan wajahku disiram oleh butiran-butiran airnya. Aku kembali menunduk setelah beberapa menit kemudian aku mengangkat kedua tanganku dan memperhatikan kedua telapak tanganku kembali bersih dibasuh oleh air hujan. Aku tak tau apa yang telah aku lakukan saat ini, aku menangis ? Apakah aku menangis ? Aku tak tau yang aku rasakan saat ini hanya perih dalam dada dan sesak yang tak dapat aku jelaskan.

Aku tidak tau bahkan aku benar-benar tidak yakin apakah aku masih bisa menangis lagi setelah aku tumpahkan seluruh air mataku sejak kemarin siang saat aku mengetahui bahwa kenyataannya aku telah kehilangan seseorang yang sangat aku cintai sejak dulu, ibuku. Aku mencengkram erat kepalaku mencoba melupakan segala yang telah terjadi dalam kehidupanku. Aku tidak bisa dengan mudah menerima fakta bahwa ibuku telah tiada. Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa dan bercerita pada siapa karena selama ini hanya ibulah satu-satunya orang yang selalu berada di sampingku, hanya ibulah satu-satunya yang sangat aku cintai selain dia.

Suara serangga saling bersahutan ditengah kesunyian dalam kamarku. Aku terbangun lalu melonjak kaget mengapa tiba-tiba aku berada di kamarku dan siapa yang telah membawaku kesini karena seingatku aku sedang berada di pemakaman umum tadi sore. Apa yang telah terjadi padaku. Aku menyapu sekitar yang nampak gelap, sepertinya sudah malam dan malam ini langit cerah tidak seperti sebelumnya. Sinar bulan menerobos masuk ke dalam kamarku melalui jendela kamar yang ukurannya lumayan besar. Aku bangkit dari dudukku lalu menghampiri jendela kamar yang tertutup.

Aku dorong kaca jendela itu membiarkan udara malam masuk ke dalam kamar. Gorden seketika bergoyang terkena embusan angin malam dan menusuk kulit hingga ke tulang. Aku bergidik kedinginan lalu membalikan tubuhku. Saat membalikkan tubuhku, aku terkejut ada sesosok makhluk di depanku dia sedang menatapku tajam seketika jantungku seakan berhenti dan mataku membulat. Sosok itu mendekatiku sebelum kemudian raut wajahnya terlihat jelas.

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang