"S...siapa kamu..? A..apa yang kamu lakukan di kamarku?" tanyaku sedikit terbata saat kemudian aku mengetahui siapa yang berada di hadapanku saat ini. Dia menahan senyum seakan mengejekku yang sedikit ketakutan karena ulahnya. Aku menarik napas kemudian membuangnya dan memutarkan bola mataku. "Aku bertanya padamu, apa yang kamu lakukan di sini ?" aku mulai meninggikan nada suaraku.
"Maafkan aku, aku ga bermaksud jahat, kok. Tadi aku liat kamu tiduran di pemakaman aku kira kamu kenapa makanya aku bawa kamu pulang.." jelasnya yang membuatku sedikit jengkel. "Aku ga tiduran di pemakaman... Mungkin tadi aku pingsan.." aku segera meralat dugaannya yang jelas salah besar dan aku lebih tidak percaya dengan apa yang telah aku ucapkan. Dia nyengir kemudian raut wajahnya berubah menjadi sendu. Aku menatapnya selama beberapa detik lalu melangkah keluar kamar. Dia masih membeku di tempatnya berdiri.Lampu di ruang makan sengaja aku nyalakan meski sedikit redup. Aku berjalan mendekati lemari pendingin lalu membuka pintu lemari tersebut. Cahaya lampu seketika merambat menyoroti wajahku. Aku mencari-cari botol minuman yang aku incar kemudian ku raih botol minuman itu.Aku duduk di kursi sambil menenggak satu botol minuman soda saat kemudian dia datang menghampiriku dan membuatku terkejut, lagi. "Kamu kenapa sih seneng banget bikin aku kaget, kamu mau liat aku mati jantungan, ya?" aku langsung naik darah. Dia menundukkan wajahnya. "Maaf.. Aku ga berniat bikin kamu kaget" ucapnya yang sama sekali tidak aku jawab. Aku menghela napas panjang. Hening hanya terdengar serangga malam saling bersahutan.
"Maaf kalau kedatanganku bikin kamu gak nyaman, aku bakal pergi sekarang.." ucapnya lalu segera berbalik.
"Mau kemana? Kamu gamau nemenin aku di sini?" tanyaku yang menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatapku. "Mungkin aku akan pergi sekarang, aku gamau ganggu kamu saat ini." Ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Aku menatapnya yang hilang dibelokan sekat rumahku. Aku menunduk dan mengembuskan napas panjang. Air mata kembali berderai membasahi pipiku. "Maafkan aku, Mario.. Maaf karena aku bersikap egois padamu.."***
Sejak dulu aku memang seorang penyendiri, bukan karena aku tak memiliki teman.. Tapi semua itu aku lakukan karena aku merasa tidak nyaman berada di sekitar mereka. Mungkin semua itu karena aku memiliki masa lalu yang buruk, setelah ayahku pergi bersama wanita angkuh itu aku menghindari semua teman-temanku karena aku tidak ingin ditinggalkan. Aku merasa takut untuk kehilangan dan aku takut akan perasaan dikhianati. Aku tidak ingin sesuatu hal yang terjadi pada ibu terjadi juga padaku maka dari itu aku memutuskan untuk tidak berbicara dengan siapa pun. Sampai suatu saat aku bertemu dengannya, dengan seorang lelaki yang sangat aku sayangi lelaki yang benar-benar aku cintai, Mario.
Aku mengenalnya saat dia pertama kali menyapaku padahal aku sama sekali belum pernah melihat dia tapi mengapa dia tiba-tiba menyapaku. Dia lelaki yang ramah, murah senyum, tinggi, dan tentunya tampan. Saat pertama kali dia menyapaku, aku langsung jatuh hati padanya. Bagainana tidak siapa pun pasti akan merasakan hal yang sama meskipun hanya sekadar mengagumi, aku rasa dia sosok yang pantas untuk dicintai.Hari demi hari berlalu hingga berganti minggu dan menjadi bulan. Sudah kurang lebih 6 bulan aku memendam perasaan suka ini padanya, aku mendapatkan celah selama satu bulan dan mencoba untuk mendekatinya. Sampai pada suatu ketika aku menghampirinya.
Saat itu cuaca sangat cerah, langit biru ditambah lukisan gumpalan putih di langit menambah indah sore itu. Semilir angin yang sesekali menerpa tubuhku melengkapi indahnya hari. Aku menghampirinya dalam sedikit keramaian sambil tersenyum dan dia membalas senyumanku. Kami mengobrol selama beberapa jam yang diakhir percakapan berubah menjadi... Agh...
Kami saling terdiam dalam keramaian. Menyibukkan diri dengan pikiran masing-masing dan menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Suara hingar bingar dalam keramaian terdengar samar di telingaku. Aku memberanikan diri menatapnya meski jujur aku malu menatapnya. Angin kembali menyentuh lembut pipiku yang terasa panas karena malu. "Kamu, sayang sama aku?" tanyaku ragu sambil menatapnya dan menunjuk diriku sendiri seolah tak percaya dengan apa yang barusan dia katakan. Gerakan kepalanya mengarah padaku dan kedua bola matanya menatapku hangat. Dia tersenyum lalu mengangguk.
Agghhh rasanya aku ingin berteriak dan memeluknya. Aku tidak menyangka dia juga menyayangiku. Aku sungguh bahagia. Senyumku mengembang dan aku menundukkan kepala tak kuasa menatap senyumnya yang begitu menawan. "Maaf udah bikin kamu nunggu selama ini" ucapnya padaku masih dengan tatapan yang sama. Aku kembali menatapnya lalu mengangguk. "Tak apa.. Aku juga minta maaf karena ga berterus terang" kami saling melempar senyum lalu raut wajahnya berubah. Sedetik kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak ku sangka.
"Aku hanya titip satu hal, jangan sampai kita pacaran.. Aku gamau kehilangan orang yang aku sayang lagi.." Ucapnya yang sukses membuat dadaku sesak. Aku yakin kini air mukaku berubah aku mengalihkan pandanganku mencoba mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. Aku mencoba untuk tersenyum dan mengangguk. "Lebih baik kita jalanin dulu semua ini tapi aku sayang sama kamu" ujarnya lagi. Aku terdiam dan mengangguk lagi karena hanya itulah yang bisa aku lakukan saat ini. Angin sore mengantarkan pesan bahagia kali ini. Aku terbang bersama harapan-harapan yang membuatku tersenyum gila karenanya. Gumpalan awan putih tertiup angin di langit berarak menjauhi satu tempat ke tempat lainnya. Hari ini berakhir dengan sebuah jawaban atas perasaanku selama 6 bulan.
Dua minggu setelah kejadian itu hubungan kami sedikit merenggang dan tanpa aku sadari aku mengucapkan satu hal yang pasti membuatnya sangat sakit. "Kalau itu yang kamu mau, aku bakal bener-bener pergi dari kehidupan kamu, Mario.." ucapku sambil menangis. Dia terdiam nampak terkejut dengan apa yang dia dengar. "Baiklah kalau itu yang terbaik buat kita.. Makasih untuk segala kenangan manis yang udah kamu kasih.." ucapnya terdengar sedikit bergetar. Dia tersenyum yang aku tau senyumnya menandakan dia telah terluka oleh kata-kataku. "Maafkan aku, mungkin aku tidak benar-benar serius dengan perkataanku. Aku tidak ingin pergi tapi.. Aku harus menenangkan diriku sejenak untuk saat ini.. Maafkan aku." Ucapku yang kemudian aku pergi meninggalkannya. Air mataku telah mengering tertiup angin selama perjalanan, meskipun begitu tidak dengan luka yang aku torehkan di hatinya, aku rasa luka di hatinya tidak akan mengering dengan cepat. Maafkan aku..Selang beberapa hari dari kejadian itu, kami berencana untuk bertemu dan menonton film. Dia menghubungiku yang aku tau dia pasti merindukan aku karena selama beberapa hari aku sama sekali tidak mengabarinya. Di perjalanan, aku sangat ingin mengatakan bahwa aku tidak pernah serius dengan perkataanku, aku tidak ingin pergi darinya. "Apa aku boleh peluk kamu?" tanyaku yang berada di belakangnya saat dia sedang fokus mengendarai motor. Dia mengangguk kemudian tanpa basa basi aku memeluknya. "Meluknya kurang erat" ucap dia datar tapi sukses membuatku tersenyum. Aku memeluknya dengan erat sesuai permintaannya. Aku menempelkan daguku pada bahunya yang lebar kemudian menutup mata merasakan hangat tubuhnya di tengah terpaan angin di jalan raya.
"Satu hal yang harus kamu tau, aku tidak pernah benar-benar ingin pergi. Aku gamau pergi. Maafin aku" ucapku padanya yang semakin memeluknya erat. Dia hanya menjawab dengan gumaman. Tanpa aku sadari, air mataku menetes dan aku semakin erat memeluknya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Short StoryJika mencintaimu saja sesakit ini, aku tidak akan pernah ingin memilih untuk terjatuh padamu. Jika saja aku bisa mengatur perasaan cintaku pada seseorang aku tidak akan susah payah merasakan sakit karena tidak bisa memiliki.