3

21 4 0
                                    

Aku menarik napas panjang sambil menutup kedua kelopak mataku menikmati perih dalam hati yang perlahan berubah sesak dalam dada. Aku merasakan hangat yang turun dari sudut mataku menuju dagu. Tiba-tiba tangan dingin menyentuh ubun-ubun kepalaku. Sontak aku membuka kelopak mataku dan menengadah menatap sosok itu. "Jangan nangis, I am sorry, I am just scared, I am bad. I am so sorry" ucapnya terlihat sedih. Aku tak mengerti, sejak kapan dia berada di hadapanku dan aku yakin dia pasti memergokiku sedang menangis karena dia mengatakan hal itu.

Aku menghela napas lagi dalam-dalam kemudian memeluknya sangat erat. "Maafkan aku.. Maaf... Aku tidak sungguh-sungguh ingin pergi" ucapku bergumam. Dia mendekap tubuh dan kepalaku yang bersandar pada perutnya. Aku merasakan suhu tubuhnya sedingin es tidak sehangat saat aku memeluknya untuk yang pertama kali. "Sejak kapan kamu menjadi cengeng seperti itu?" tanyanya dengan nada suara datar. Aku menarik tubuhku dari dekapannya kemudian menatapnya. Dia berjongkok menyeimbangan tinggi denganku yang sedang duduk di kursi. "Kenapa natap aku kayak gitu, aku salah, ya ?" tanya dia polos. Mata bulat dan bulu mata tebalnya sangat menggemaskan selalu saja membuatku ingin menyentuh kedua kelopak matanya. Aku menutup mata dan mencoba tersenyum lalu menggeleng. "Jangan nangis terus, aku ga suka liat kamu nangis.." gumamnya. "Aku ga nangis, kok.." Ucapku dengan suara yang terdengar serak. "Don't make me sad, can you?" tanyanya menatapku tajam bibirnya mengatup. Aku mengangguk. "Jangan pergi, jangan tinggalin aku sendiri, aku kangen sama kamu, aku butuh kamu, aku sayang sama kamu.." ucapku padanya sambil menahan air mata yang sebentar lagi pasti akan meleleh. Dia hanya terdiam tanpa membalas apa pun yang aku katakan.

"Ayo makan, sejak ibumu meninggal aku ga pernah liat kamu makan lagi.." ucapnya. Aku menggeleng. "Aku ga pengen makan.." tolakku sambil menghindari tatapannya. "Ayolah... Apa perlu aku suapin kamu?" tanyanya yang membuat aku tersenyum. "Ngga, aku gamau makan apa pun" jawabku. Tanpa berkata apa pun dia pergi melenggang ke arah dapur. Aku yakin dia akan membawakanku makanan, dia memang keras kepala sama halnya seperti aku. Tapi bagaimana pun juga aku tetap menyayanginya.

***

Di tengah ramainya acara graduation ceremony, aku menyeretnya jauh dari keramaian. Aku hanya ingin berbicara dengannya berdua saja tanpa ada siapa pun. Dan disinilah kami, berdiri saling berhadapan meskipun suara musik masih terdengar aku mecoba memelankan suaraku agar tidak ada yang mendengar percakapan kami.

"Jadi, apa yang ingin kamu katakan?" tanyanya saat melihatku mengambil ancang-ancang untuk berbicara. "Sesuai dengan janjiku, aku akan mengatakannya saat graduation ceremony.." ucapanku menggantung lalu dia tertawa. "Jangan ketawa deh.." ucapku sedikit malu. "Ihhh abisnya aku pengen ketawa mulu" gumamnya sambil menahan senyum. "Serius dong.. Aku mau ngomong nih" ucapku. "Oke oke.. Aku serius.." Ucapnya kemudian kami terdiam. Kami terdiam selama beberapa detik. Lantunan lagu kangen dari dewa 19 terdengar nyaring di telinga kami, aku pun mengambil jeda untuk memulai percakapan serius ini yang sebenarnya telah dia ketahui apa yang akan aku katakan. Aku menarik napas memulai pembicaraan.

"Kamu taukan, aku sering ceritain orang yang aku suka ke kamu, dan selama kurang lebih 6 atau 7 bulan aku pendam perasaan ini. Sebenernya orang yang aku suka itu kamu, aku pendem perasaan aku selama sekian bulan ke kamu. Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Dan perkataan aku saat itu, aku ga pernah serius untuk ninggalin kamu. Aku sayang sama kamu. Maafin aku. Aku ga bener-bener ingin pergi dari kamu. Satu hal lagi, aku titip pesan, kalau suatu saat kamu nemuin seseorang yang lebih baik dari aku, tolong bilang ke aku. Aku mohon bilang sama aku, ya? Aku akan jaga perasaan aku untuk kamu. Aku sayang sama kamu." Ucapku mengakhiri kalimatku dengan embusan napas pelan. Tidak ada jeda sejenak ia langsung bertanya suatu hal padaku "Aku boleh meluk kamu ga ?" tanyanya. Aku menatap dia, matanya berwarna merah seperti ingin menangis. Iris matanya yang berwarna coklat terang selalu membuatku terhanyut dalam tatapannya. "Boleh" jawabku singkat. Namun yang terjadi hanya diam diantara kami tak ada yang melakukan apa pun. Setelah beberapa detik terdiam aku membawanya pergi ke suatu tempat yang sepi. Lagu berikutnya yang terdengar mengalun masih bertema kerinduan. Saat ini aku hanya ingin berdua dengannya saja. Menghabiskan waktu hanya dengannya dan menceritakan segala rasa yang kami miliki, hanya bersamanya. Kami menghabiskan waktu sekian jam untuk berfoto dan menikmati alunan lagu yang dinyanyikan band band sekolah.
Entah apa yang saat itu sedang kami bicarakan tiba-tiba saja dia menanyakan suatu hal yang sangat sulit aku jawab. "Boleh ga aku cium kamu ?" aku terdiam seribu bahasa menatapnya. Dalam hati aku mengatakan ya tapi sulit untuk aku ucapkan. Aku malah tersenyum canggung dan dia memalingkan wajahnya. "Aku boleh peluk kamu?" tanyaku padanya sedetik kemudian. "Ngga.." jawabnya singkat. "Kenapa ? Karena aku ga jawab pertanyaan kamu tadi ?" dia terdiam membisu lalu tersenyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SolitudeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang