Eyes [End]

1K 152 76
                                    

Kata Levi, mata Eren itu indah. Seindah air oasis di tengah-tengah gurun pasir, menyejukan. Jika dikurangi alis tebal yang selalu menukik—mengajak ribut.

Kata Eren, mata Levi itu menyeramkan. Bayangkan mata insomnia yang hanya bia bertahan menutup paling lama tiga jam. Kantung mata yang menghitam, dengan pupil mata yang minim. 'Kan, seram. Jika mata itu menutup lebih lama, itu artinya ada yang salah.

Eren tukang cari mati. Tapi anehnya Levi menyukainya. Kopi buatan Eren setiap pagi itu begitu manis, tapi Levi berkata ia tidak membencinya.

Kadar gula dalam kopi tak sebanding dengan senyum manis Eren—katanya.

Memang. Mikasa saja selalu ingin menerkam jika tak ditahan Armin.

Orang bilang cinta itu buta. Cinta bisa membutakan siapa saja bagi yang berhasil terjerat ke dalamnya. Katanya sih, tak memandang status sosial dan usia. Bahkan gender.

Cinta adalah kekuatan. Perwujudan lain dari nafsu itu sendiri. Tapi orang-orang menyebutnya ketulusan. Mengorbankan orang lain demi yang dicintai, mengorbankan nyawa diri sendiri. Hah. Kuno.

Tapi ayolah, itu begitu klise, mainstream. Tidak ada yang mau mendengarkan cerita cinta kuno seperti itu.

Cerita cinta yang berubah menjadi dongeng pengantar tidur anak-anak.

Aku juga punya. Lucu sekali. Tadinya aku mengolok dan sekarang mau ikut bercerita juga.

Kau mau mendengarkan?

Ayo kita bercerita!

Aku, Sasha Blouse, akan menceritakan kisah cinta modern yang menarik dan tidak membuat dijadikan dongeng pengantar tidur.

E Y E S

Shingeki no kyojin© Hajime Isayama

Pair: Levi x Eren

Angst(amin), hurt, drama, Child! Sasha, parent! RiRen

OOC, Alur berantakan & kecepetan, Typo(s), dan kawand-kawand.

HAPPY READING!

.

.

Cerita ini didapat atas pengalaman sendiri. Sebagian dari bibi Mikasa, dan Paman Armin yang baik hati.

Dari kecil Sasha memang suka membaca buku, menghabiskan waktu seharian di perpustakaan kalau perlu.

Usianya baru tujuh tahun. Dan hobinya mengunyah kentang sambil membaca buku di pojokan perpustakaan, bawah pohon, dan kolong kasur kamar pribadi Suster Petra.

Sering ia dipergoki mencuri makanan di dapur dan gudang penyimpanan makanan di gereja. Setelahnya kemudian kupingnya memerah karena selalu jadi lampiasan Suster Petra—selaku pengasuh sejak masih berbicara ta ta ta.

Tapi tak apa, Sasha tetap menyayangi Petra. Dia ibunya. Dan dia juga mencintainya.

Sehari-hari dihabiskan dengan itu semua. Sasha Blouse dibesarkan di panti asuhan Gereja Sina. Hari-hari damai sentosa. Sampai sepasang suami-istri membawanya pulang bersama mereka.

Usut punya usut, mereka adalah pasutri yang baru berumahtangga tiga bulan.

Di malam akan diadopsi, Suster Petra menangis tersedu-sedu memangku kepala Sasha yang mengunyah roti. Saat Sasha bertanya kenapa dia menangis, Suster berkata ia kelilipan remah roti yang dimakan Sasha.

EYES [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang