Aku pun mulai menjadi perindu malam. Saat buku dan penaku bercumbu, aku cuba melakar stanza mewakili resahku. Malangnya, setelah banyaknya selang masa berlalu, yang tersisa hanyalah barisan coretan tanpa makna. Bunyi lagu sang jangkerik bersahutan tanpa irama bagai dodoi mengiringi malamku yang resah. Bertemankan cahaya bulan purnama 14 yang mencuri masuk ke jendela kamarku yang gelap, aku duduk merenung langit. Malam ini, entah mengapa bintang seakan luar biasa indahnya. Kerdipnya demikian mempesona, membuatkan aku semakin merasa dekat dengannya. Ya. Dia. Dia adalah belahan jiwaku. Bintang di bumiku. Dialah yang berjaya membuatku percaya pada ajaibnya raksa sebuah kuasa cinta pandang pertama! Lucu...Entah mengapa dengan mengenal dia duniaku hanya dihiasi dengan satu musim sahaja. Musim apa? Musim rindulah! Rindu yang tiada habisnya kepada Nur Nia Dahliah Binti Shamsul.
" Matamu cantik," pujiku suatu hari, saat kami kebetulan berteduh di pondok anjung menanti hujan teduh. Dia tersenyum malu dengan pipi merah jambunya itu. Sambil berdesis mengucapkan terima kasih, dia memalingkan wajahnya ke sisi. Aku membalas senyumnya dengan bibir terketar. Pujian itu, sudah tentu sama sekali tak kurancang. Ia meluncur begitu saja dari mulutku tanpa sempat kutahan. Seketika kemudian, dia menoleh padaku. Mata kami pun beradu dalam tempoh yang beku. Masa seakan terhenti. Kami pun pegun dalam bahasa diam. Aku seakan mendengar suara lewat pandangannya. Mata itu sedang berbicara akan sesuatu, namun gagal kutafsirkannya.
Ya Tuhan. Kalaulah aku punya kuasa magis, sudah pastilah aku tidak akan terperangkap dalam perasaan ini. Betapa aku ingin, memecahkan kod rahsia di balik matanya yang menawan itu, agar aku dapat menemukan jawapan yang menghantuiku ini. Apakah, dia juga turut merasai getaran gelombang yang kualami setiap kali berada di dekatnya? Apakah, dia memahami isyarat yang kusampaikan padanya melalui bahasa tubuhku dan jelingan mataku? Ataukah semua ini hanyalah fatamorgana yang hadir sekadar untuk menyiksa perasaanku? Jadi bingung aku terus memikirkannya. Lantas aku mengambil keputusan untuk tidak mengendahkan kerana di hadapanku ini terdapat seseorang yang lebih pantas untuk difikirkan.
Sehinggalah pada suatu malam, segala resah dan persoalanku menemukan penghujungnya. Saat itu, aku sedang tenggelam dalam nukilan ilham yang kukarang khusus buat Dahlia. Sedang hanyut bersama imaginasi artistikku, telefon bimbitku berbunyi. Enggan, aku menggapai telefon. Tertera nama sahabatku, Arif, di paparan skrin. Arif Naufal Bin Sadiq. Seorang pencinta muzik bergenre rap. Muzik merupakan kaunselor sekaligus dunianya.
"Ada apa Rif?" tanyaku malas. "Kalau kau ingin tanya soal kerja rumah, lupakan saja sebab aku pun belum siap. Kalau kau mau tanya soal muzik..."
"Keduanya bukan!" Potong Arif gesit. Suaranya terdengar tak sabar. Aku menghidu bau keterujaan lewat dengus nafasnya. "Malam ini lupakan soal kerja rumah dan muzik kerana ada sesuatu yg ternyata jauh lebih indah dari semua itu,"
" Maksudmu?"
" Cuba kau lihat langit malam ini. Indah, kan? Seindah hatiku. Kerana gadis pujaanku akhirnya menerima cintaku malam ini,"
Aku mengerutkan dahiku. Demikian lamanya mengenal Arif, belum sekali pun sahabat ku ini pernah bicara soal perempuan yang menarik minatnya. Hidupnya lebih menderita dariku hingga soal cinta jatuh ke tangga tersorot jauh dari keutamaannya.
" Kau...jatuh cinta?"
" Bukan lagi jatuh, Dan. Tapi jatuh lalu disambut. Kau fahamkah, Dan? Dia telah menerima cintaku," sahut Arif bersungguh. Suaranya dua kali lebih teruja dari sebelumnya.
" Tapi dengan siapa?" balasku dengan rasa ingin tahu. Kegembiraanya adalah kegembiraan ku jua. Berita baik ini tentunya akan kami raikan esok berdua seperti selalu.
"Dengan..." Arif terhenti. Kukira, dia sedang tersenyum sendiri, melawan debar jantungnya.
" Siapa?" desakku keras.
" Dahlia...Nur Nia Dahlia Binti Shamsul. Pelajar tingkatan 3 Amanah. Kau kenalkan? Aalah...yang..."
Selepas itu aku sudah tidak mendengarkan lagi kata-kata Arif. Serasa ada gempa di kepalaku. Telingaku tuli. Jantungku berhenti berdegup. Kurasa aku sedang mati dihenyak masa. Liur kutelan terasa pahit. Bibirku mendadak kering. Aku dapat merasakan seluruh dadaku basah oleh air mata yang tak mampu menitis di pipi.
" Hey...Dan? Kau masih di situ?" Terdengar suara Arif menjerit. Aku cuba memanggil semangatku semula.
" Ya..."
" Jadi apa pendapatmu?"
" Pendapat? " Aku tergagap. Tak tahu kemana arah tuju kata-kata Arif.
" Ya...tentang kami. Kau setuju?"
" Kenapa aku harus setuju? Pendapat aku tidak penting di sini, "
" Siapa bilang tidak penting? Kau sahabatku, Dan. Aku mahu kau menerima pilihanku dan bergembira dengan keputusan ku , "
Aku memejamkan mataku. Perih. Apa yang harus aku katakan? Semua ini sangat mengejutkan dan tak terduga sama sekali. Pada saat aku mengumpul seluruh kekuatan untuk menyatakan perasaanku pada Dahlia, ternyata sahabatku juga menyimpan perasaan yang sama dengannya! Lebih menyakitkan, ternyata dia jauh lebih kuat dan berani dariku!
" Aidan...?"
" Ya...Tahniah Rif. You deserve the best thing in the world, "
" Terima kasih, Dan. Tadinya, aku takut kau akan ketawakan aku,"
" Kenapa aku harus ketawa? Kau kan sahabatku, Rif,"
" Ya. Sahabat terbaik di dunia. Besok kita raikannya, ya? Macam selalu, Cafe Biru, pulang sekolah. Tapi kali ini, kita bertiga. Deal? "
" Deal, "
Apalagi yang harus aku katakan? Tatkala perbicaraan itu berakhir, aku meraung sendiri menangisi diriku.
"Dihadapanmu aku tersimpul malu. Tetapi dihadapan Nya aku ingin kau jadi jodohku..."
- Nafisah , Tuna Netra
YOU ARE READING
Dahliah Milikku Pada Tanggal 5 July 2013
RomanceSetelah berjam-jam aku dihadapan kamus dewan bahasa Oxford untuk mencari kata yang sesuai untuk menggambarkan tentangnya, apa yang aku dapati tidak ada satu kata yang benar-benar tepat untuk menggambarkan tentang dirinya. Hanya saja aku menemukan se...