Hiroki telah dinyatakan meninggal.
Sudah genap 3 bulan ia hanya terbaring di ranjang rumah sakit tanpa ada perubahan sedikitpun. Otaknya mengalami benturan yang sangat keras itulah yang menyebabkan sarafnya tidak berfungsi, maka meskipun jantung dan paru-parunya masih bekerja, namun otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Sesungguhnya ia sudah mati sejak lama. Keluarga Hiroki sudah mengikhlaskan nya pergi.
Hujan deras tengah mengguyur kota Tokyo, namun aku tetap menghadiri rumahnya dengan pakaian serba hitam. Di tengah-tengah kerabat dan teman-temannya. Aku disini, berdoa untuknya.
Aku berdiri di samping jendela. Suara tetesan air dari langit di luar bergemuruh di telingaku,di ikuti sambaran petir yang menggelegar, seolah dunia juga sedang meraung atas kepergianya. Mataku memerhatikan kedua orang tua Hiroki yang tengah menangis tersedu-sedu, dan para pelayat masih silih berganti menguatkan mereka.
Aku melangkahkan kaki pergi dari rumah Hiroki. Tanpa diduga-duga, ia disana. Sosok Hiroki dengan jelas sedang berdiri di depan gerbang rumahnya. Meski dari kejuhan bisa ku lihat manik hitam matanya menatapku. Senyumnya begitu lebar, terlihat pula lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Tangannya terangkat lalu melambai ke arahku, hujan lebat mengguyur tubuhnya tanpa ampun.
Aku tersenyum tipis. Perlahan tanganku terangkat dan membalas lambaian tangannya. Setelah itu, bagai tersapu angin, sosok Hiroki menghilang dari pandanganku. Semesta seolah menegaskan bahwa ia sudah benar-benar pergi.
Aku tidak mengenal Hiroki, tapi kami berdua memiliki satu hubungan. Ada hal yang hanya kami berdua yang rasakan. Sesuatu yang terlihat begitu menyala setiap pandangan kami bertemu, yang membuat aku merasa dia ada disini, ada di sampingku, ada di depanku, di manapun aku berada. Sesuatu yang tak butuh deskripsi maupun penjelasan pasti.
***
Umurku sudah 27 tahun, dan aku sudah menikah. Namanya Takahiro Moriuchi. Yah dia adalah kakak sulung Hiroki. Aku mengenalnya setahun setelah Hiroki meninggal. Entahlah kenapa aku bisa jatuh cinta padanya. Aku pun tak tahu jawabannya.
"Hai cantik." Ia mengecup dahiku lembut saat aku membukakan pintu rumah.
Sambil memandangi senyumnya yang manis namun terkadang jahil, aku mengaitkan jemari kecilku pada lengannya dan berjalan menuju sofa ruang tamu, "Bagaimana harimu? Melelahkan?"
"Sangat melelahkan." Ia menjawab sembari melepas lilitan dasinya. Aku masih duduk di sampingnya, menatap lekat-lekat lelaki di hadapanku. Aku memang sangat menyayangi Taka, tapi tak ada kegembiraan yang menyala-nyala saat kami berciuman. Tak ada jantung yang berdegup kencang saat dia memelukku. Tak ada kata aku mencintaimu atau aku menyanyangimu yang terucap dari bibir kami. Aku rasa ini bukanlah cinta yang hambar, namun jika aku diperbolehkan untuk mencari kata yang tepat dalam mendeskrpsikannya, maka aku bisa mngetakan datar, sederhana, dan terlalu mudah.
Namun kurasa, cinta yang berlebihan tak akan menjamin hubungan akan bertahan lama. Aku hanya butuh seorang suami yang bisa menjagaku dan keluargaku, menghidupiku dangan layak dan Taka memiliki semua itu. Tidak kurang ataupun lebih.
Tapi sayang masih ada yang terasa kosong. Masih ada sesuatu yang tak hentinya membayangiku hingga detik ini.
Meski bertahun-tahun telah terlewati. Terkadang aku masih memikirkan Hiroki, berandai-andai soal bagaimana penampilannya jika ia masih hidup, apakah ia akan sangat mirip dengan Taka? Tidak jarang otakku membawaku bernostalgia ke saat-saat dimana kami berkomunikasi lewat keheningan yang membuatnya terasa tak asing. Sosoknya memang sudah tidak ada lagi, namun nayatanya aku masih merasakan itu. Rasa hangat dan nyaman yang menjalar ketika mata kami bertemu, yang membuat aku tak mampu mengelak untuk tidak membandingkannya dengan Taka.
Ada sebesit pemikirian imajinatif semisal waktu itu aku mulai mengenal Hiroki atau paling tidak berbicara dengannnya. Kemudian kami dekat, saling jatuh cinta kemudian menikah dengannya. Yang membuatku gila adalah, Hiroki yang sudah mati dan bukanlah kekasih ataupun orang yang kucintai ketika ia hidup.
Namun di dalam garis takdir, aku tetap menjadi istri dari seorang Taka hingga nafas terkhirku di umur 70 tahun. Aku memang ingin mati. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan kualami dan apa yang akan menimpaku di akhirat nanti. Aku ingin meminta satu kesempatan lagi. Satu kehidupan baru untuk kembali menemui Hiroki yang tak akan ku sia-siakan seperti dulu.
***
Sosok Hiroki tampak sedikit berubah. Namun senyuman ramah itu tetap miliknya. Suaranya masih tetap miliknya, masih terdengar sama seperti sedia kala.
"Kaoru." Ia menghampiri gadis itu. "Aku sudah menunggumu."
Kaoru melangkah mendekat dengan mata melebar, lalu dipeluknya erat-erat lelaki itu.
Kaoru dan Hiroki melepas pelukan masing-masing, lalu saling bertukar pandang, satu-satunya hal yang bisa Membuat mereka terhubung satu sama lain. Mereka kembali bertemu, dan Tuhan mengijinkan mereka untuk tetap saling mengingat saat ini.
"Aku menyia-nyiakannya," ucap Kaoru memecah keheningan. "Kau menemukan aku, tapi aku menyia-nyiakannya."
Kesempatan itu pernah datang. Kehidupan baru itu pernah diberikan. Kaoru dan Hiroki telah bertemu di salah satu titik dunia, namun nyawa yang diberikan tak berhasil untuk membuat mereka kembali bersatu. Kaoru memejamkan matanya, memikirkan kesempatan-kesempatan yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menumpuk keberanian dan mengajak Jiroki berbicara, semua detik yang harusnya ia gunakan untuk bersamanya, masa depan yang harusnya ia jalani dengan laki-laki itu.
"Aku sudah memperingatkan kalian," suara itu tiba-tiba datang mengagetkan mereka. Sesosok manusia berjubah hitam mendekati mereka "Tidakkah itu lebih menyesakkan jika kalian meminta untuk dlahirkan kembali, namun tak punya waktu untuk sekedar mengulang masalalu?"
"Satu kali lagi." Ucap Hiroki. "Berikan kami satu kesempatan lagi."
Hiroki mengucapkan permohonan itu bukan semata-mata karena ingin bermain dalam lingkaran kehidupan, jauh di dalam lubuk hatinya ia berjanji akan menemukan Kaoru dan menariknya agar gadis itu ikut mengisi kehidupannya yang ketiga. Kali ini, ia menyanggupi untuk tidak menyisakan benih penyesalan yang sama.
"Baiklah, satu kesempatan." Ucap sosok berjubah itu. "Yang terakhir" ia menekankan.
Hiroki mengamit jemari Kaoru hingga gadis itu melihat kearahnya. Sekali lagi, dengan tatapan yakin mereka berusaha menggali retina masing-masing, meletakkan suatu kode supaya di kehidupan mendatang, keempat bola mata ini akan menjadi petunjuk tegas bagi mereka.
"Kita bisa melakukannya." Ucap Hiroki tegas, lalu Kaoru tertawa pelan.
Selamat bertemu di dunia selanjutnya, Hiroki.
Fin
.
.
.
.
.
.
.
.
Akhirnya selesai juga. Maaf yah ceritanya ga jelas. 😄 asalnya mau di jadiin satu part cuman kayanya kepanjangan, jadi akhirnya aku bikin dua part.
Semoga setelah ini aku masih ada feel buat nerusin Hi Summer 😅
Happy reading ~