seperti,
Angin yang menyukai setangkai bunga,
Kau tak dapat melihatnya, namun dapatkah kau merasakannya?
●●●
Awalnya semua bermula ketika aku menyukai teman sekelasku.
Alasannya sederhana, karena ia satu satunya orang yang mengetahui masa laluku. Panggil saja ia matahari.
Matahari adalah satu satunya orang yang menyapaku ketika yang lain tak melakukannya. Entah aku juga tak tahu alasannya. Bahkan sampai sekarang aku masih ingat bagaimana ia menyapaku pertama kali,
"Lho, kamu masuk sini juga?Halo! Kita satu kelas lagi sekarang," ucapnya.
Matahari juga salah satu orang yang dapat membuat sudut di bibirku naik, selain berita baik, keluarga, dan teman tentunya.
Ia memberikan keramaian di pikiranku yang kosong.
Memang aneh rasanya ketika jantung ini berdetak lebih cepat untuk pertama kalinya, bahkan hanya saat ia lewat di depanku.
Ia bahkan tak menyadari ketika suaranya menggema di telingaku saat ia menyebut namaku
Ketika hatiku meledak-ledak saat ia tersenyum meski bukan untukku.
***
Kata orang, menyukai seseorang itu rasanya seperti berjalan di taman yang penuh dengan bunga. Indah?
Entahlah, aku juga tak yakin.
Tapi rasanya orang-orang tidak menyadari batasannya, apakah orang yang kita sukai juga memiliki perasaan yang sama terhadap kita?
Menurutku, menyukai orang yang tidak memiliki perasaan yang sama dengan kita bagaikan berdiri diantara dua bilah pedang.
Jika kita memutuskan untuk maju, kita akan merasakan sakitnya kenyataan bahwa orang yang kita sukai ternyata, menyukai orang lain. Tetapi jika kita mundur kita juga akan merasakan sakitnya, ketika kita melihat ia bersama orang lain.Seperti itulah aku, yang berusaha untuk mundur ketika mengetahui temanku juga memiliki perasaan yang sama untuknya, atau bahkan lebih.
"Sepertinya.....aku menyukainya," ucapnya tersipu.
Satu kalimat yang berhasil membuatku terdiam.
Entah, apakah matahari juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Awalnya ku pikir, mungkin masih ada sedikit harapan untukku. Hingga aku memutuskan untuk tetap diam di tempat dan menjadi salah satu penganggum rahasianya.
Namun, hari itu aku mulai menyadari....
Mereka terlihat lebih dekat satu sama lain, bahkan berangkat dan pulang bersama.
Kini senyumnya terasa berbeda seperti biasa ia tersenyum padaku sebelumnya.
Mereka mulai saling menatap dan tersenyum, pipi mereka memerah, tersipu. Ketika yang lain bertanya tentang hubungan mereka.
Mungkinkah Matahari sudah mengungkapkan perasaannya?
Aku mulai sadar, seharusnya sudah lama aku mundur, sebelum aku jatuh semakin dalam.
***
Haruskah aku memikirkan sebutan yang pantas untuk pasangan Matahari sekarang?
Ah! Bulan.
Bulan & Matahari, bukankah terdengar cocok?
Memiliki sinarnya sendiri untuk menerangi dunia.
Meski kini Matahari, tak lagi bersinar di mata ku sekarang.
Rasanya sulit menaikkan sudut di bibirku semudah pertama kali aku melakukannya. Sulit untuk kembali membuat sedikit kerutan diujung mataku. Dan sulit untuk kembali melihat wajahnya.. sedikit.. hanya sedikit..
***
Tapi inilah hidup, seperti memainkan sebuah karakter dalam sebuah film. Berlagak menjadi seorang aktris yang handal. Meski sepertinya peran yang kumainkan hanya sebagai pemeran figuran dalam ceritaku sendiri.
Air mataku jatuh perlahan, meski bibir ini tersenyum.
"Maaf hati, aku telat menyadarinya,"
-to be continued.
halo!
Gimana cerita ini menurut kalian?
jangan lupa vote dan comment nya ya,
beri kritik, saran/pesan yang ingin kalian sampaikan
untuk r. yang lebih baik! hehe :3
-r,voc./2018
KAMU SEDANG MEMBACA
VOCAL
Short Story[completed] "Bukankah lucu? Jantung ini kembali berdetak dengan cepat, disaat aku tak menginginkannya" tertanda, aku. ©r,voc./2018