Aku memasuki sebuah kedai klasik akhirnya, memesan segelas infuse water lalu segera memilih tempat.
Bali memang selalu punya suasana yg menyenangkan walau sebenarnya cuaca sangat panas, begitu juga kedai tempat aku terduduk sekarang setidaknya disini lebih dingin daripada diluar.
Pesanan ku datang, ku edarkan pandangan sesekali, dan ya ia datang. Kawan perempuan lawasku semasa abu-abu, yg sekarang sibuk berlayar di salah satu kapal pesiar ternama. Sesuai impiannya dulu.
Ku teguk minumanku lalu bersiap mendengar ceritanya.
Cerita yg sudah setia diceritakannya sejak kami masih sebangku dulu. Cerita tentang sebuah hubungan manisnya. Hubungan yg sebenarnya tidak terhubung.
Lagu lawas Lembayung Bali yg di bawakan Saras Dewi terdengar berputar.
Dia mulai bercerita dengan senyum lebar perihal rencananya untuk menyudahi segala perjalanan layarnya, "aku akan sesegera mungkin kembali ke surabaya" katanya. Terlihat semangatnya yg menggebu ketika berucap kata 'Surabaya'.
Kota penuh kenangan bagi kami, bagi dia, dan mungkin saja bagi lelakinya.
Kota yg jadi sejarah kala sore itu.
Aku ingat betul bagaimana membara sukmanyanya ketika untuk pertama kali diajaknya dia oleh anak seorang pilot itu untuk berkeliling kota.Aku juga ingat betul bagaimana sepulangnya, ia dengan menggebu-nggebu kala menceritakan kejadian senja itu. Dibawa berkeliling menggunakan motor, memang hal biasa bagi kalangan kami saat itu. Tapi berkeliling dengan cinta pertama memang bukan hal yg biasa.
Jika kau bayangkan betapa tampan lelaki itu, kuberi tahu, tampangnya biasa saja, hanya saja terdapat tahi lalat di pelipis kanan nya sebagai pemanis.Lelaki semampai yg sebenarnya tidak terlalu kukenal, tapi ntah mngapa hanya ia, lelaki yg saat itu kurasa sanggup membahagiakan kawanku ini.
Ku pandangi lagi kawanku ini, "sudah lulus kan dia?" tanyaku.
"Aku bahkan belum dengar kabarnya lagi sejak itu" jawabnya.
Jadi ini yg dari awal sangat membuatku salut pada mereka. Hubungan macam apa yg bahkan bertukar kabar saja sukar dilakukan? Melainkan menyerah, ia justru dengan santai mengatakan "dia sedang menata masa depannya. Biarkan saja, aku masih bersedia menunggunya", terdengar sekilas keraguan di tiap kalimatnya perihal 'menunggu'.
Kalau kau berfikir mereka merupakan pasangan yg menjalin hubungan dengan dimabuk asmara bak artis dalam drama korea. Salah, mereka sama sekali tidak begitu.
Mereka hanya sepasang sejoli yg di lebur malu-malu. Hingga hendak menyampaikan rindu pun mereka lalui dengan lantunan doa di tiap sujud, dan menghabiskan waktu dengan menata sebaik mungkin masa depan, mereka hanya bisa menyampaikan cinta melalui sajak dan puisi saja.
Kulihat wajah kawanku ini sudah berubah, sesekali diusap matanya.
Kembali diteteskan air matanya "aku hanya takut bahwa ini semua akan sia-sia. Sudah kucoba membuang segala tentangnya pada lautan, tapi semakin kulupakan semakin aku dibuatnya penasaran", ucapnya.
'Hingga masih bisa kuraih dirimu.. sosok yg mengisi kehampaan kalbuku..' lagu itu belum juga terselesaikan bak jadi backsound ceritanya.
Terhitung 10tahun sudah kawanku ini menjaga hatinya dari siapapun, ia masih berteguh pada lelakinya.
Lelaki dengan jurusan Desain Komunikasi, di salah satu perguruan tinggi Surabaya saat itu. Kalau ku ingat kembali, memang bukan main cerdasnya lelaki itu. Peraih nilai fisika tertinggi saat UN memang hal yg patut di banggakan bukan.
"Katamu, selama dia laki-laki baik penantian bukan sesuatu yg sia-sia bukan?" ku genggam tangannya, diremasnya tanganku. Kawanku ini memang sangat halus perasaanya.
Dan bukan itu saja, aku kembali teringat kala kawanku menanyakan sebuah pertanyaan ke lelakinya "kok menunduk terus sih bicaranya? Ada apa di bawah hm?", di jawabnya oleh lelaki itu "nggak baik melihat perempuan melulu, kurang sopan".
Lalu kau tahu bukan betapa terdidiknya lelaki itu, wanita mana yg tidak ingin diberi makhluk sejenis itu. Yang saat itu ku sebut 'calon siap jadi imam'.
Aku ingat benar bagaimana kami sering bergurau perihal masa depan masing-masing. Bagaimaa ia berandai bisa memasakkan santapan di tiap hari bagi lelakinya kelak, dan dibayangkannya pun dia dengan setia mendukung segala profesi lelakinya sambil berharap dijadikannya karakter sebuah komik.
Lucu memang, terkadang aku malah merasa iri pada mereka. Ah hubunganku bahkan sudah lebih dulu berakhir tak karuan.
"Lalu bagaimana kalau dia melupakanku?" tanyanya lagi, semakin bergetar pula suaranya.
"Teruslah meminta. Sujudmu takkan menghianati pengharapanmu, percayalah".