Sepekan lalu, secara tidak sengaja aku kembali dipertemukan dengan sepasang kawan lama ku yg lain. Kukatakan sepasang, karna mereka laki-laki dan perempuan. Cih, yaiyalah yg benar saja.
Tidak, kali ini aku takkan menggambarkan scene sebuah adegan curhat. Mungkin kalian akan bosan jika melulu seperti itu. Untuk sekedar informasi, aku menulis kisah ini disela-sela ketidak-sibukanku pada larut malam sepulang lembur, dan mengharuskan aku untuk sekedar mampir sejenak ke salah satu kedai kopi favoritku, hanya untuk menghilangkan kantuk. Mengingat jarak tempat bekerjaku dengan rumah yg tidak dekat.
"segelas Affogato ya, vin!"
"segera!"
Terputar lagu Peri Cintaku dari Marcell, kali ini.
Mari, biar kumulai. Fikiranku kembali melayang pada kisah mereka. Mereka yg sebenarnya selalu terlihat baik-baik saja padahal menyimpan sejuta rintih.
Kuingat, kawan perempuanku itu, sebut saja namanya Lia. Perempuan mungil, teman baikku semasa menduduki bangku perkuliahan dulu, perempuan manis dengan kerudung yg selalu ia kenakan. Sekali waktu, ia dengan tergesa memaparkan sebuah hal yg mulai mengoyak perasaannya.
"ia menyampaikan hal itu padaku, akhirnya", tersirat kebahagiaan disela emosinya.
"sudah? Lalu kamu bagaimana?" tanyaku.
"aku nggak menyukai hal itu, kamu tau kan. Ia menjadikan ini semua semakin sulit. Patah hati terbesar nantinya adalah ketika aku dan dia harus dipisahkan karna garis iman", kulihat sepasang matanya mulai mengerling berat.
Beberapa kali aku secara tidak sengaja mendengar nama kawan perempuanku ini, disebut dalam doa kawan lelakiku kala kami sama-sama beribadah. Sebut namanya, Elang.
Seringkali kudengar dalam lipatan tangannya sebelum menyelesaikan dengan tanda salib, Elang selalu menyebut nama Lia, sudah coba kutelisik dari awal, ada buih cinta yg tumbuh antara mereka. Pula sekian kali kulihat Lia dengan bahagia menghabiskan hari untuk menulis sajak-sajak yg jelas mengarah pada Elang.
Jadi kala itu kawanku, Lia ini, menceritakan bahwa akhirnya setelah 6 tahun berjalan. Pada awal memasuki perkuliahan, Elang menyampaikan segala frasa hatinya. Segala beban rindu beserta sumpah serapah kasih yg disimpannya selama ini.
"sia-sia kalau aku harus menangisinya, tapi mau bagaimana? Perihal agama tak sekedar 'hanya' kan?" kalimat Lia baru saja menggebrak naluriku, setegar inikah sebuah cinta yg tulus?
'Tuhan memang satu, kita yg berbeda..' lagu ini memang cocok jadi soundtrack kisah mereka.
Elang memang sudah mengenal Lia sejak bangku menengah pertama, zaman cinta monyet berlangsung. Saat itu Elang dan Lia mengabaikan perasaan mereka, seiring berjalan waktu semua berubah.
"hari ini aku ada pertandingan bola, jangan lupa selipkan doa untukku pada sujudmu nanti ya?" pinta lelaki berkulit gelap itu.
"iya, hari ini pula aku ada ujian bahasa inggris. Jangan lupa mendoakanku di sela lipatan tanganmu yg menggenggam salib ya?" sahut Lia diakhiri cekikik geli.
Sejauh indera ku memandang mereka tampak sangat lucu, manis, miris, dan ironis di satu waktu.
Lalu sampai aku bertemu mereka kembali, tepat sepekan lalu. Ketika sedang asyik menyeruput ice coffe dan lalu aku hendak keluar dari cafe, menangkaplah mataku akan mereka yg berjalan berdampingan di seberang jalan. Kutangkap pandaganku pada genggaman tangan Elang yg dengan sigap menjagai Lia saat menyebrangi jalan. Sadar kehadiranku Lia yg kulihat tangan sebelahnya memegang beberapa belanjaan segera bergegas meraih tubuhku untuk dipeluk, "how's life?" jeritnya.
"still, same as old. You both?" godaku.
"kami masih baik. Pray for us, please" sahut Elang, sembari merangkulku hangat.
"sure! I will. Kalian masih panutanku".
Kalau kucerna kembali, aku ingin tau apa tanggapan dunia mengenai mereka? Aku ikut merasakan gebuan dalam diri mereka perihal perbedaan, tegakah dunia memisahkan kisah teduh ini? Cih, perzinahan katanya. Namun mereka bahkan memadu kasih hanya melalui sajak dan doa, kufikir persetan dengan dunia.
Melainkan temanku ini, Lia, lembut hatinya, halus perasaannya, "sampai kapan, Elang?"
"sampai Tuhan sendiri yg menyudahkan, Lia. Hanya cukup izinkan aku menjagamu, semampuku, dari jahatnya semesta ini. Ya?"
"buat apa dijalani kalau akan berakhir, Lang?.."
"Lia, teruslah berdoa, teruslah meminta, dan teruslah menjaga, maka niscaya meskipun berakhir kita akan sama-sama menua dalam bahagia"
Lihat, kisah kasih mana lagi yg semengharukan ini?