"iya, sabar aku sedang dijalan ini. Sabar ya, 10 menit lagi aku sampai" ujarku menyudahi pembicaraan pada ponselku.
Ketahuilah ini sudah menginjak pukul 11malam, dan yg menyebalkan adalah aku harus mengendarai mobilku sendirian malam-malam begini masih dengan piyama melekat, hanya untuk menemuinya.
Genta namanya, merupakan salah satu dari sejumlah kawan terdekatku. Selalu bersama sejak duduk di bangku abu-abu membuat kami menjadi bagai saudara sampai sekarang.
10 menit kemudian aku memasuki garasi rumahnya, memarkir mobilku lalu segera masuk. Sampai lupa mengucap salam, tapi lagipula tidak ada siapapun dirumahnya.
Kuketuk pintu kamar dia, hanya kutemui sejumlah foto yg tergeletak kusut seperti bekas diremas. Aku tau dia ada dimana. Segera kunaik lagi menuju atap rumahnya, dan benar kutemui Genta sedang berusaha menghapus air matanya.
Sebatang rokok terselip disela jemarinya, kududukkan tubuhku disebelahnya. Kubuka ponselku, lalu dengan sengaja memutar lagu Aku Bukan Pilihan dari Iwan Fals. Lagu yg jadi hits pada masa kecil kami, mungkin.
"aku gagal lagi" ucapnya terlebih dulu, karna sengaja tak kunjung kumulai pembicaraan kami.
Sudah kuduga juga apa yang akan diceritakannya setelah ini, "sia-sia rupanya hampir dua tahun terakhirku ini hahaha" celotenya lagi diiringi tawa kecut.
Sejujurnya sudah dari beberapa minggu lalu kudengar kerenggangan hubungan kawanku ini dengan kekasihnya, "selama setahun lebih aku membanggakannya, kau sendiri tahu betapa aku menyayanginya, kurelakan semua waktu dan apapun yg aku punya hanya untuknya. Tapi apa?! Apa?! Apa yg aku dapat? Kabar bahwa kekasihku tidur dengan lelaki lain?"
Aku tak bisa berkata apapun, hanya dengan perasaan yg ikut amburadul aku tetap berusaha tenang mendengarkannya. Sudah kuketahui berakhiran ini bahwa kekasi genta memang sedikit mulai berubah, mereka makin jarang terlihat bersama. Klise, alasannya karna banyak pekerjaan dan lembur.
'aku lelaki tak mungkin menerimamu bila, ternyata kau mendua membuatku terluka..' lagu itu masih terputar mengiringi sedikit isakan Genta.
Aku ikut merasakan betapa hancur hati kawanku ini, karna aku tahu betul perjuangannya sejak dulu hingga sekarang. Dia merupakan sosok pria yg cintanya stabil, bahkan tidak pernah sekalipun aku mendengar keluhan dari kekasihnya. Hampir tidak ada masalah diantara mereka, bak dua sejoli yg hidup dalam kerajaan damai mereka menjalani hubungan yg sudah hampir menginjak tahap lebih serius
Di hisapnya lagi rokok disela jemarinya itu, lalu di acaknya kasar rambut ikalnya. "Ta, terkadang seseorang datang bukan untuk menetap. Tapi untuk memberi pelajaran kecil" ujarku lalu mengelus lembut punggungnya.
"apa kurangku? Sudah kuberi semua yg terbaik, semua!", jeritnya tercekik lemah. Masih kuingat betul ketika kekasih Genta merengek menelfon memintanya kembali pulang, padahal ketika itu kami sedang bersiap akan berangkat mendaki ke salah satu gunung di bilangan Jogja. Ditinggalkannya aku bersama beberapa kawanku sembari tak henti dia meminta maaf padaku.
Tak pernah dalam sejarah kami berteman Genta mengorbankan hobby dan kecintaannya pada alam hanya karna seorang wanita.
Sekali kuingat perkataan Genta perihal wanitanya dulu, "kau tahu, tak pernah aku merasa sesayang ini pada seorang wanita. Bahkan melihat senyumnya saja aku merasa menjadi lelaki paling beruntung, sesejuk embun, semekar kembang, seindah jingga, bahkan senyaman rumah",
"Sekarang untuk melihat wajahnya pun aku tak sudi!"
"Tidak, kau sudah cukup ta.."
"Aku menyesal tak mendengarkanmu"
"Tidak apa, penyesalan selalu datang terakhir bukan? Karna itu jadikan pelajaran"
Lalu kami kembali terdiam 'tinggalkan saja diriku, yg tak mungkin menunggu..'
Genta kembali terisak, matanya sudah hampir tidak bisa terbuka, rambutnya amburadul, pakaiannya masih pakaian kantor yg melainkan telah kusut.
"Kesedihan tidak baik jika berlarut, Ta.. Kebencian harus dimusnahkan, kepedihan harus dilawan, kelemahan harus segera diusir, dan kebahagiaan harus kembali dititih"