Chapter 3 : The Truth Untold

1.1K 181 76
                                    

Hanya butuh kurang lebih satu bulan untuk membuat Taehyung percaya dan berdiri di samping Jimin hampir di setiap kesempatan mereka bertemu. Tiga bulan pun tak terasa saat Taehyung begitu saja hafal seluruh gerak-gerik dan makanan kesukaan Jimin. Enam bulan, Taehyung tak dapat mengalihkan netranya dari bayang-bayang Jimin.

Jungkook bilang jatuh cinta itu menyakitkan, tapi yang ia rasakan adalah mimpi selembut permen kapas yang diselingi marshmellow yang dibakar; panas dan menggoda. Taehyung pernah berkencan sebelumnya, tapi baru dengan Jimin ia merasa seperti dilahirkan kembali.

Dengan Jimin Taehyung belajar bahwa hidup bukanlah hanya untuk mengais bunga tidur. Dengan Jimin Taehyung tahu bahwa bunga dan cokelat atau perhiasan bukanlah hal yang dibutuhkan dalam menjalin kasih. Dengan Jimin, Taehyung mewarnai hidupnya satu persatu. Bukan hanya warna langit biru juga merah muda dan hijau di taman kota, akan tapi kelabu, hitam dan merah yang keras pada jalanan yang kasar.

Jimin masih tak punya ponsel, Taehyung tak masalahkan hal itu karena ia tahu benar perjuangan Jimin untuk makan satu cup ramyun instan saja sudah seperti mandi keringat. Jimin yang akan datang menjemput Taehyung, Jimin pula yang baik hati memberikan nomor kontak sahabatnya yang bernama Min Yoongi kalau ada saatnya Taehyung benar-benar membutuhkannya. Kala itu Taehyung sedikit terbakar api karena si Min Yoongi itu lebih dekat dengan Jimin, namun senyumnya tertarik kembali saat tahu Yoongi ini sudah ada yang punya. Jiminnya aman dalam dekapan.

Jimin selalu bilang bahwa ia tak pantas mendapat begitu banyak cinta dari Taehyung, tapi Taehyung pun balas bicara bahwa ia yang tak pantas mendapat ribuan perhatian dari Jimin yang mau susah-susah membagi waktu hidupnya.

.

i

"Jimin, kenapa langit itu biru?" Taehyung membiarkan Jimin dengan nyaman memeluknya dan dadanya yang lebar dijadikan alas untuk kepala Jimin.

Mereka ada di tempat tinggal Jimin, di atas kasur yang sempit namun Taehyung tak pernah protes karena ia bisa berpelukan secara intim dengan Jimin setiap berada di atas kasur ini.

"Bukan biru, langit itu tidak berwarna. Tahu kenapa langit tiba-tiba saja kelabu saat hujan? Karena warna biru pada langit itu punya matahari, saat cahaya matahari hilang warna langit pun hilang."

Taehyung berdehem pelan, entah pertanyaan absurd yang ke berapa yang ia tanyakan pada Jimin semenjak mereka bersama dan Jimin yang entah memang pandai selalu menjawabnya dengan baik tanpa menyebut Taehyung ngawur.

"Taehyung-ah," Jimin mengangkat kepalanya, beralih untuk bersandar pada sandaran kasur kayu yang keras, tangannya masih enggan memeluk tubuh Taehyung, "aku ingin bertanya."

"Akhirnya kau yang bertanya," Taehyung tertawa gemas sementara Jimin memutar matanya sambil dengan jahil mencubit kulit perut Taehyung yang empuk seperti kue.

"Kenapa kau menyukaiku?"

Taehyung diam, detik-detik pada jam dinding yang berjalan pun seolah ikut terhenti terkena lampu merah momen yang tak diharapkan datang. Mata pria bersurai merah itu bertemu dengan mata kekasihnya, dan Jimin benar serius bertanya padanya.

"Aku sudah berkata padamu aku tak punya apa-apa untuk kubagi, tak punya sesuatu yang dapat kukembalikan saat kau memberiku begitu banyak hal."

"Jiminie," Taehyung bangun dari tidurnya, duduk dan menyilangkan kaki. Jimin ikut duduk, di hadapan Taehyung dengan tangannya yang menggapai jari-jari Taehyung yang panjang dan indah. Taehyung tersenyum melihat perlakuan Jimin yang selalu lembut padanya, seolah dirinya serpihan kristal yang harus dipoles setiap hari.

Strawberries and Cigarettes [BTS Fanfiction - VMIN] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang