Pernah membayangkan suatu hidup yang biasa saja? Benar-benar hidup yang biasa. Tampang biasa, prestasi biasa, penampilan biasa, dan aura biasa yang bukan Aura Kasih. Oke yang terakhir khilaf. Maksudku benar-benar hidup yang biasa, seperti rambut yang lurus direbonding. Lurus polos tanpa gelombang, tanpa keriting, atau tanpa hiasan kuncir motif polkadot ngejreng yang biasa dipakai cabe-cabean bonceng tiga. Pernah? Nah itulah hidupku yang biasa ini.
Mungkin seperti hidup Nobita yang bakalan garing tanpa alat-alat dari Doraemon. Pergi sekolah, ulangan dapet nilai nol bulet, pulang lagi ke rumah, tidur siang, makan, tidur lagi, makan lagi, tidur lagi dan begitu-begitu aja kaya kebo di ujung tanduk. Tidak ada petualangan antariksa, pintu ajaib, baling-baling bambu dan sebagainya.
Ya, intinya kalian bayangkanlah kehidupan Nobita tanpa Doraemon. Cowok ingusan dengan tampang biasa yang nggak menggugah selera, hidup sangat standar, nilai ulangan yang selalu dapet nol. Yups, kami serupa, tapi tak sama. Mau tau apa yang bikin kami beda?
Satu. Nilai ujianku nggak kaya Nobita juga kali, yang terus-terusan dapat nol! Sungguh luar biasa sekali Nobita. Ayo tepuk tangannya mana ini! Hahaha!
Dua. Aku juga bukan anak manja yang suka minta benda-benda khayalan penolong hidup ke Doraemon. Aku beda. Aku bukan anak manja. Aku paling minta tambah uang saku ke Mama. Sama aja kali ya, uang juga bisa jadi penolong perut lapar dan penolong kuota. Nggak apa-apa, asalkan penolong hidup harus tetep Tuhan. Setdah! Cakep! Mendadak religius.Tapi bener, kan?
Satu lagi yang perlu ditegaskan. Kalau perlu diprint sekalian, trus tempelin di jidat kalian semua biar paham. Aku nyata sedangkan Nobita hanya fiktif belaka. Nobita hanya tokoh yang sengaja dibuat untuk menghibur anak kecil. Sedangkan aku lebih sering bikin anak kecil lari ketakutan ketimbang menghibur.
Kalimat barusan bikin aku jadi down. kami memang beda, tapi sepertinya Nobita menang satu poin di atasku. Apalagi kenyataan bahwa Nobita lebih popular ketimbang aku bikin video viral goyang gergaji bugil sekalipun.
Okelah, biarlah Nobita berjaya dan mari kita lupakan Nobita. Intinya kami berbeda. Dia Nobita dan aku Tatra. Aku Tatra yang bernama lengkap Tirta Sagara. Aku bertempat tinggal di Indonesia, di Kota Surabaya yang luar biasa panasnya, kaya mulut netizen, bukan di Jepang yang dilengkapi dengan empat musim sekaligus sehingga bisa merasakan nikmatnya bermain manusia salju, apalagi kalau saljunya kalian siram pakai milo kental. Whoa, jadi es kepal milo. Nikmatnya... Selain itu aku duduk di bangku kelas XI IPA di salah satu sekolah yang disebut-sebut sebagai sekolah terfavorit di Surabaya. Ka-ta-nya.
Seperti yang sudah kubilang dan kutegaskan bahwa hidupku biasa saja. Tapi, aku tinggal di sebuah rumah yang agak tidak biasa. Rumahku lebih terlihat seperti hutan dibandingkan rumah. Banyak sekali tumbuhannya. Rumah tropis ini berpenghuni tiga orang tarzan, aku , mamaku, dan budeku. Tiga kepala. Tiga otak yang memiliki karakter dan cara hidup yang berbeda.
Mama adalah orang sibuk yang mempunyai dua kedai plus galeri tanaman hias di Surabaya dan Jogja. Gabungan dua konsep ini tercipta dari hobi Mama yang kayaknya lebih mencintai tanaman dari pada anaknya sendiri, serta hobi Bude yang setiap hari akrab bermain dan bergosip di dapur bersama panci, kompor, blender, oven, bumbu dapur, serta teman sepermainannya yang lain. Dari kedua konsep inilah tercipta kedai dan galeri yang unik.
Mama dan Bude sempat bingung untuk memberi nama kedai unik ini. Dan mereka sempat ngambek ketika aku menyarankan memberi nama kedai dan galeri tersebut dengan nama
Keledai
Kedai dan Galeri
Keren kan! Tapi sayang menurut mereka nama itu kampungan dan nggak menjual. Oke, fine! Ide ini memang ngawur sih sebenernya. Akhirnya setelah mereka mencari wangsit dan mempelajari fengshui, mereka memutuskan memberi nama
KAMU SEDANG MEMBACA
Meyra, Chapter One, The Lost Prince
FantasyMEYRA adalah Air. MEYRA adalah Kehidupan. MEYRA adalah Kita. Tatra, seorang remaja biasa saja yang konyol dan serba tidak serius, tiba-tiba harus berhadapan dengan takdir yang tidak main-main. Tatra harus memahami dan menerima masa lalunya yang sela...