SATU

393 34 19
                                    

Fiscoland, sebuah negara adidaya yang disegani oleh banyak negara didunia.

Di negara ini terjadi banyak pembunuhan pada kaum kulit hitam, entah mengapa alasannya. Menurut ras kulit hitam, Fiscoland merupakan neraka.

Alvin Nathaniel Arenza, seorang pemuda berumur 12 tahun. Ia tinggal di Georgetown, ibukota Fiscoland. Ia lahir di keluarga yang serba ada, tetapi ada sesuatu yang tidak Ia dapatkan, teman, dan kasih sayang

Kedua orang tuanya melarang Alvin untuk bersosialisasi dengan sembarang orang, sebagai gantinya, Alvin diberi sebuah humanoid, yaitu robot yang sangat menyerupai manusia.

"Pa, aku ingin teman sungguhan." Rengek Alvin.

Reynand, sang Papa adalah seorang tentara. Sering kali mereka berpindah tempat tinggal karena Reynand yang dipindahkan tugasnya.

"Kan udah ada Jack." Reynand menunjuk kearah humanoid yang diberi nama Jack.

Apa enaknya bermain dengan robot? Walaupun Jack mengerti apa yang dikatakan manusia, tetap saja rasanya berbeda.

Dua tahun yang lalu Alvin sempat mempunyai teman yang bernama Gerald, Gerald terlahir dari keluarga kurang mampu dari ras kulit hitam. Pertemanan mereka terjalin secara tersembunyi, sehingga ada seseorang yang membocorkannya kepada Reynand. Setelah itu Alvin tidak pernah melihat Gerald lagi.

Alvin menghela napas, mengapa disaat Ia meminta teman yang sama sekali tidak mengeluarkan uang tidak dibolehkan, sedangkan saat Ia meminta barang yang harus mengeluarkan banyak uang langsung dituruti.

"Tapi, pa."

"Gak ada tapi-tapian, sekarang masuk ke kamar!" Titah Reynand dengan nada tinggi. Membuat Alvin kecut seketika.

"Ayo Jack."

Kamar dengan suasana luar angkasa ini terlihat sangat modern dan nyaman. Kasur yang berbentuk kapsul, wallpaper bergambar bintang-bintang, lengkap dengan hologram tata surya yang diletakkan disudut kamar.

Sesampainya di kamar, Alvin mengeluarkan benda pipih dari saku, Ia ingin menelpon bundanya, siapa tau saja bunda mau mengabulkannya.

Tak lama hologram berbentuk wajah Bunda pun terlihat di layar ponsel.

"Bunda, besok aku sekolah ya?"

Semenjak ketahuan berteman dengan Gerald, Alvin tidak bersekolah di sekolah umum lagi. Orang tuanya memberikan homescholling padanya.

"Gak ada, sekolah dirumah lebih baik, nanti uangnya bunda lebihin, gak usah rewel deh bunda lagi sibuk sama kerjaan." Begitulah Fera, ibunda Alvin. Selalu mementingkan pekerjaan, dan tidak pernah ada waktu untuknya.

Untuk yang kedua kalinya Alvin menghela napas.

Tiba-tiba Alvin merasa punggungnya diusap oleh seseorang.

"Tidak usah bersedih. Di sini aku bertugas untuk menjadi sahabatmu, aku akan selalu ada untukmu." Ucap Jack seraya mengerti perasaan majikannya ini.

"Kamu itu robot, kamu gak tau gimana rasanya, jadi diamlah." Alvin menarik selimutnya hingga ke leher.

"Aku memang robot, tapi aku adalah humanoid versi terbaru. Aku bisa merasakan apa yang manusia rasakan, aku bisa menyayangi, aku bisa mencintai, dan aku bisa merasakan sakit." Jelas Jack panjang lebar.

Mendengar itu, Alvin mencoba untuk memukul perut Jack yang duduk disebelahnya.

"Arrggh." Ringis Jack sembari memegang perutnya yang bekas dipukul itu.

Alvin terkekeh melihat reaksi humanoid miliknya itu. Karena sudah merasa ngantuk, Alvin mematikan lampu, dan bintang-bintang di wallpaper kamarnya itu menyala.

"Kau tau Alvin? Pukulanmu tadi memang sakit, tapi lebih sakit lagi ketika aku melihatmu bersedih, dan aku tak bisa menghilangkan kesedihanmu itu." Tutur Jack, Ia juga melirik ke arah Alvin yang sedang menatapnya dengan tatapan penuh makna.

"Terima kasih."

• • • • •

Matahari pagi menyambut kota Georgetown dengan cerianya, sinarnya pun memasuki jendela orang-orang seraya sedang menyapa orang itu.

Alvin terbangun, Ia merasakan ada orang disebelahnya saat Ia berguling. Setelah mengucak matanya beberapa kali dan nyawanya sudah terasa terkumpul, Alvin terduduk dengan wajah polos.

"Kamu tidur?" Tanya Alvin kepada Jack yang masih tiduran disebelahnya.

"Tidak, aku hanya diam."

Tiba-tiba saja pintu kamar Alvin terbuka, dan terlihat bunda nya yang berpakaian sangat formal.

Alvin sudah tau apa yang akan terjadi, "Iya, tunggu."

Seperti biasa, jika ibundanya masuk kekamar dan memakai pakaian seperti itu, artinya hari ini juga mereka akan pindah rumah.

Dengan cepat Alvin pergi ke loteng untuk mengambil dus kosong sebagai tempat barang-barangnya. Ia tidak akan membawa banyak, karena itu sangat merepotkan.

"Bisa bantu aku memasukkan pakaian ke dalam koper? Aku mau mandi dulu." Dan Jack hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sesaat setelah Alvin pergi ke kamar mandi, terdengar suara teriakkan dari luar rumah. Dengan langkah cepat, Jack mengintip dari jendela untuk memastikan bahwa keluarga ini aman.

Di luar terdapat tujuh polisi yang mengepung seorang anak kecil berkulit hitam. Pistol pun diarahkan ke anak yang sudah menangis ketakutan itu. Tidak ada warga yang membantu anak itu, orang-orang yang lalu lalang mengabaikan, seperti kejadian ini adalah biasa di mata mereka.

Jack tidak mengerti apa yang terjadi, apa ini hanya sebuah adegan rekaman? Atau hanya akting? Entahlah, manusia memang susah untuk dimengerti.

Karna tidak mengerti, Jack kembali memasukkan pakaian kedalam koper, seperti yang diperintahkan.

Tak berselang lama setelah selesai membereskan pakaian, Alvin keluar dari kamar mandi dengan menggunakan baju jersey sepak bola kesukaannya.

"Tadi ada suara ribut apa?" Tanya Alvin yang mendengar itu.

"Lihat saja diluar jendela." Ucap Jack sembari menunjuk ke jendela.

Alvin memutar bola matanya, mengapa tidak langsung diberitau saja. Dengan malas, Ia melangkah ke jendela kamarnya, dan dari sana terlihat ditengah jalanan terdapat bercak darah.

"Hei, kemana anak itu?" Tanya Jack yang secara tiba-tiba sudah berada disebelahnya.

"Anak apa?"

"Tadi ada anak kecil, hitam, terus dikelilingi polisi yang memegang pistol." Jelas Jack.

Alvin ber-oh ria. Tapi tunggu, kulit hitam? Polisi? Pistol? Darah? Alvin bergetar membayangkannya, otaknya memutar kembali kenangannya saat bermain dengan Gerald. Ia teringat kembali saat Gerald menolongnya yang terjatuh di selokan saat bermain sepeda, dan menggendongnya hingga sampai depan rumah.

"Hey, Alvin, are you ok?" Tanya Jack sembari menggoyang-goyangkan tangan Alvin.

"Gerald." Tiba-tiba saja Alvin melontarkan nama itu, dan langsung mengeluarkan ponselnya dan mengecek pesan yang sering Ia kirimkan pada teman lamanya itu.

Belum dibaca, Alvin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, dadanya sesak. Ia takut kalau Gerlad juga diperlakukan seperti itu. Ia menganggap bahwa Gerald adalah kakaknya, Gerald selalu menemani Alvin disaat Ia butuh, Gerald selalu menjadi pengganti orang tuanya disaat kedua orang tuanya keluar kota untuk bertugas.

"Alvin, Jack! Ayo cepat, kita berangkat sekarang." Teriak Fera dari luar kamar Alvin.

Dengan cepat, Alvin mengusap air mata yang meluncur di wajah mulusnya.

"Alvin. Aku siap menjadi tempatmu menuangkan seluruh kesedihanmu, amarahmu, apapun itu." Tutur Jack saat Alvin sudah sampai dipintu. Dan hanya dijawab Alvin dengan sebuah senyuman yang masih terlihat semburat kesedihan.

Find a PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang